Selasa, 14 September 2010

Pasang Surut Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia

PASANG SURUT PEMBERLAKUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Oleh : Hendra Umar, S.Ag
Indonesia yang sekarang menjadi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan ibukota Jakarta adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di Asia Tenggara, melintang di katulistiwa antara benua Asia dan Australia serta antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Indonesia berbatasan dengan Malaysia di pulau Kalimantan, berbatasan dengan Papua Nugini di pulau Papua dan berbatasan dengan Timor Timur di pulau Timor, dan terletak pada 6°08′ LS - 106°45′ BT. Indonesia memiliki 18.000 lebih pulau (sekitar 6.000 pulau tidak berpenghuni) yang menyebar sekitar katulistiwa, memberikan cuaca tropis. Indonesia terdiri dari lima pulau besar, yaitu: Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Penduduk Indonesia pada menurut sensus tahun 2005 telah mencapai 241.973.879 dengan tingkat kepadatan 126 orang/km². Pulau terpadat penduduknya adalah pulau Jawa, di mana setengah populasi Indonesia hidup. Islam adalah agama mayoritas yang dipeluk oleh sekitar 88,2% penduduk Indonesia yang menjadikan Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Sisanya beragama Protestan (5,9 %), Katolik (3 %), Hindu (1, 8%), Buddha (0,8 %), dan lain-lain (0,3 %). Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa atau kelompok etnis dengan tidak kurang dari 300 dialek bahasa. Dari jumlah tersebut diperkirakan separuhnya beretnis Jawa. Sisanya terdiri dari etnis-etnis lain yang mendiami kepulauan di luar Jawa, seperti suku Makassar-Bugis (3,68 %), Batak (2,04 %), Bali (1,88 %), Aceh (1,4 %) dan suku-suku lainnya. Bahasa Indonesia yang embrionya berasal dari bahasa Melayu dijadikan sebagai lingua franca dan bahasa pemersatu berbagai kelompok etnik di Indonesia. (1)
Sekali pun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, namun bukan berarti hukum Islam secara otomatis langsung dipraktekkan dalam konteks kemasyarakatan dan kenegaraan. Hukum Islam mengalami pasang surut dalam perjalanan panjang sejarah Indonesia.
Sejarah perjalanan hukum Islam di Indonesia dapat dianalisis dalam lima periode, yaitu zaman kedatangan Islam di Indonesia, zaman kerajaan Islam di Nusantara, zaman kolonial Belanda, zaman pendudukan Jepang dan zaman kemerdekaan R.I. Keempat periode keberlakuan hukum Islam tersebut dpat diuraikan sebagai berikut :
1. Periode Kedatangan Islam di Indonesia
Periode ini dimulai sejak Islam pertama kali didakwahkan di Indonesia sampai dengan munculnya kerajaan Islam pertama pada abad ke-13 M (Kerajaan Samudra Pasai) di Aceh. Terdapat perbedaan di kalangan ahli sejarah dalam menentukan kapan masuknya Islam di Indonesia, yaitu:
a. Pendapat pertama yang menegaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-12 M. yang dibawa para da’i yang berasal Anak Benua India dan Persia, seperti yang dikemukakan Pijnapel, Snouck Hugronje, Moquatte, Fatimi, R.A. Kern, R.O. Windstedt, G.H Bousquat, B.H.M. Vlekke, J. Gonda, B.J.O. Shrieke, dan D.G.E. Hall. (2)
b. Pendapat kedua yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M. yang dibawa para da’i yang berasal Coromandel dan Malabar, seperti yang dikemukakan oleh G.E. Marrison dan T.W. Arnord, meskipun mereka tetap mengasumsikan bahwa proses masuknya Islam Indonesia sebenarnya dapat terjadi lebih awal dari masa itu, bahkan sejak Islam muncul di Jazirah Arabiyah pada abad ke-7 M. (3)
c. Pendapat ketiga menegaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 M. yang dibawa para da’i dari Jazirah Arabiyah, seperti yang dikemukakan oleh Crawfurd, Keyzer dan Naquib al-Attas, dan Hamka. (4)
Terlepas dari silang pendapat di antara para ahli sejarah tersebut, namun para ahli sejarah sependapat bahwa Islam masuk ke Indonesia lewat jalan damai melalui jalan dakwah, perdagangan, perkawinan, pendidikan, tasawuf atau tarekat dan kesenian, bukan melalui jalan peperangan, aneksasi atau penjajahan. (5)
Diasumsikan ketika Islam masuk ke Indonesia telah membawa pemberlakuan hukum Islam di Nusantara, minimal masih dalam tahap embrio. Hal ini berdasarkan teori otoritas hukum atau teori kredo syahadat dari H.A.R. Gibb bahwa ketika seseorang masuk Islam dan mengucapkan syahadatayn, maka seseorang telah terikat untuk menerima dan tunduk terhadap ajaran Islam, termasuk hukum-hukum Islam. (6) Hal ini didukung oleh beberapa temuan, antara lain :
a. Munculnya masjid, dayah dan rangkang di Aceh yang mendahului munculnya Kerajaan-Kerajaan di sana sebagai pusat pendidikan, dakwah dan penyebaran ajaran Islam, tentu termasuk pembelajaran hukum Islam sebagai sarana untuk mengamalkan ajaran Islam. (7)
b. Salah satu jaringan pendidikan Aceh adalah Minangkabau. Pada saat Islam berkembang di Minangkabau, seorang ulama dari Sintuk, Pariaman yang belajar ilmu keislaman di Aceh, yaitu: Syaikh Burhanuddin (1066 H/1646 M.-1111 H/1691 M.) yang ahli ilmu fikih mendirikan surau yang berfungsi pula sebagai madrasah di Sintuk dan Ulakan.(8) Murid-muridnya ketika menamatkan pelajarannya mendirikan pula lembaga-lembaga pendidikan Islam atau melanjutkan pelajarannya ke Aceh dan Timur Tengah. (9) Dari Aceh dan Sumatera, Islam lalu menyebar ke daerah lain di Nusantara. (10)
c. Daerah Ampeldenta di Surabaya dianggap sebagai bentuk pesantren yang telah ada sejak kwartal tiga abad ke-15 M. Dalam Serat Centini Jilid I yang ditulis Pakubuwana V pada abad ke-15 M disebutkan kondisi Giri sebagai wilayah yang ditempati oleh orang-orang Islam dipimpin oleh Sunan Giri. Ada beberapa petunjuk yang disebutkan antara lain masyarakat sudah beriman, menjalankan syariat nabi, membaca al-Qur'an, dan juga mendirikan masjid. Dalam Babad Tanah Jawa hanya disebutkan adanya pesantren di Ampeldenta pimpinan Sunan Ampel yang sudah memiliki banyak santri. Ampeldenta merupakan suatu wilayah yang semi otonom pada masa akhir Kerajaan Majapahit sebelum munculnya Kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu Kerajaan Demak. (11)
Intensitas pelaksanaan hukum Islam masih bercirikan beberapa hal, yaitu :
a. Dilaksanakan secara bertahap-tahap, tidak dilaksanakan secara sekaligus mengikuti prinsip hukum Islam al-tajri li al-tasyri. Hal ini seperti yang diteoritisasikan oleh H.A.R. Gibb bahwa sekalipun orang yang baru masuk Islam telah mengakui otoritas hukum Islam, tetapi berbagai tradisi, lembaga sosial dan hukum lama tidak bisa dihapuskan begitu saja. Para muballig dan ulama harus berjuang dalam jangka waktu yang lama untuk mengembangkan hukum Islam diterima secara aktual oleh seluruh anggota masyarakat. H.A.R. Gibb juga menteoritisasi bahwa terdapat satu bidang hukum Islam yang diterima secara merata oleh berbagai lapisan masyarakat yang baru masuk Islam, bahkan dipertahankan secara ketat, yaitu perkara perkawinan, perceraian, dan pewarisan. (12)
b. Lebih menekankan aspek dakwah untuk penyebaran Islam dari pada penerapan hukum Islam yang lebih normatif dan legalistik. Misalnya, menikahnya seorang putri Campa yang beragama Islam dengan Kertabumi (Raja Majapahit)yang beragama Hindu yang sebenarnya diharamkan oleh hukum Islam berdasarkan Q.S. al-Baqarah (2) ayat 221. Namun demi kepentingan dakwah Islam, pernikahan tersebut terjadi. Putri Campa yang menjadi selir Kertabumi tersebut akhirnya menjadi jalan masuk bagi penyebaran Islam di Indonesia dengan memberikan perlindungan kepada para da’i untuk menyebarkan Islam. (13)
c. Hukum Islam dilaksanakan atas dasar kerelaan para pemeluknya untuk mentaati ajaran dan hukum Islam tanpa ada dukungan otoritas kekuasaan negara karena belum berdiri Kerajaan Islam. Peran para muballig dan ulama sangat penting dalam membimbing masyarakat di Nusantara untuk mengamalkan ajaran Islam, termasuk hukum Islam.
d. Penyebaran Islam di Jawa lebih diwarnai aspek tasawuf, meskipun aspek hukum Islam tidak diabaikan. Hal ini karena tasawuf dengan segala penafsirannya dalam beberapa segi tertentu cocok dengan latar belakang kepercayaan masyarakat setempat yang dipengaruhi oleh asketisme Hindu-Budha dan sinkretisme kepercayaan lokal. Juga karena tarekat sufi lebih toleran terhadap pemikiran dan praktek tradisional, walaupun sebenarnya bertentangan dengan aspek hukum Islam. (14)
2. Periode Kerajaan Islam di Nusantara
Periode ini bermula sejak munculnya Kerajaan Islam pertama di Nusantara pada abad ke-13 M (Kerajaan Samudra Pasai di Aceh) sampai kedatangan bangsa Eropa yang menjajah Nusantara pada permulaan abad ke-17 M.
Ada banyak kerajaan Islam di Nusantara, seperti: (15)
a. Aceh, seperti Kesultanan Samudra Pasai (abad ke-13 s.d. ke-16 M.), Kerajaan Perlak (didirikan sekitar abad ke-9 M. dengan nama Kerajaan Lamuri dan menjadi kerajaan Islam sekitar abad ke-13 M.), Kesultanan Aceh Darussalam (tahun 1511 s.d. 1903 M.), dan sebagainya.
b. Sumatera, seperti Kesultanan Malaka yang berpusat di Malaka (Malaysia) namun mewilayahi sebagian perairan dan daratan yang sekarang ini masuk wilayah Indonesia (abad ke-14 s.d. ke-17 M.), Kerajaan Deli yang berada di bagian timur pulau Sumatera (didirikan tahun 1630 M. dan berubah menjadi Kesultanan Islam tahun 1814 M.), Kesultanan Jambi (1690-1901 M.), Kesultanan Minangkabau (abad ke-13 s.d. 17 M.), Kesultanan Melayu Riau, Kesultanan Lingga (didirikan tahun 1824 M.), dan Kesultanan Melayu Riau.
c. Kalimantan, seperti Kesultanan Bandar (didirikan pada abad 14 M. dan menjadi Kesultanan Islam pada tahun 1520 M.), Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martapura, Kerajaan Pontianak (dibentuk tahun 1771 M.), dan lain-lain.
d. Sulawesi, seperti Kerajaan Gowa-Tallo (dua kerajaan kembar yang dibentuk awal abad ke-16 M. dan menjadi Kesultanan Islam pada tahun 1605 M.), Bone (Kerajaan taklukan Gowa-Tallo dan berdiri sendiri sebagai Kerajaan Islam pada abad ke-17 M.), kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Mandar, Sulawesi Barat (Majene dan Mamuju), kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Sulawesi Tengah (Banawa, Parigi, Moutong, Sigi, Banggai, Toli-Toli, dan Buol) dan sebagainya, Kerajaan-Kerajaan Islam di wilayah Sulawesi Utara dan Gorontalo (Gorontalo, Limboto, Atinggola, Bualemo, Bolaang Mongondow) dan lain-lain.
e. Jawa, seperti Kesultanan Demak (1500-1550 M.), Kesultanan Pajang (1568- 1618 M.), Kesultanan Mataram Islam (1586-1755 M.), Kesultanan Cirebon (berdiri sekitar abad ke-16 M.), Kesultanan Banten (berdiri sekitar abad 16), dan sebagainya.
f. Maluku, seperti Kesultanan Ternate (1257 – 1583 M.), Kesultanan Tidore (1110 – 1947 M.) Kesultanan Jailolo, Kesultanan Bacan, Kerajaan Tanah Hitu (1470-1682 M.).
g. Nusa Tenggara, seperti Bima (berdiri sekitar abad ke-17 M.), Manggarai dan lain-lain.
Karakteristik keberlakukan hukum Islam pada era zaman kerajaan tersebut, antara lain :
a. Agama Islam dijadikan agama negara sejak rajanya masuk Islam (seperti kerajaan Gowa Tallo, Bone dan lain-lain) maupun didirikannya kerajaan tersebut bersendikan Islam (seperti Samudera Pasai, Demak dan sebagainya).
b. Hukum Islam diberlakukan secara positif sebagai hukum kerajaan, sekali pun pada beberapa Kerajaan dan Kesultanan Nusantara ada yang melaksanakan dengan tidak ketat. A.C. Milner mengatakan bahwa Kerajaan Aceh dan Kesultanan Banten yang melaksanakannya secara ketat, baik dalam masalah perdata dan pidana. (16) Kerajaan Mataram Islam di Jawa dipandang paling longgar dalam melaksanakan hukum Islam, khususnya dalam masalah hukum pidana dan hukum yang berkenaan dengan raja yang masih mengikuti tradisi pra-Islam. Namun dalam masalah hukum keluarga, seperti nikah, talak, dan rujuk dilaksanakan secara merata di seluruh kerajaan dan kesultanan Islam di Nusantara. Perbedaan pelaksanaan hukum Islam pada kerajaan dan kesultanan Islam di Nusantara hanya terlihat dalam konteks pelaksanaan hukum pidana. Pada kerajaan atau kesultanan tertentu, hukum-hukum pidana ada yang masih mengikuti hukum adat atau hukum adat dipadukan dengan hukum Islam, terutama kasus-kasus yang tidak secara jelas diatur oleh hukum Islam. (17)

c. Telah dibentuk lembaga peradilan Islam yang menjalankan hukum Islam, baik perdata maupun pidana, misalnya, Wizar Al-hukkām yang dipimpin oleh Wazir al-Hukkām di Kerajaan Perlak, (18) Mahkamah Agama yang dipimpin oleh Qadi di Kerajaan Samudra Pasai, (19) Balai Majlis Mahkamah yang dipimpin oleh Sri Panglima Wazir Mizan serta Balai Kadhi Malikul Adil pada Kesultanan Aceh Darussalam, (20) Pengadilan Pradata yang berubah menjadi Pengadilan Surambi di Kerajaan Mataram Islam, (21) dan sebagainya.
c. Telah dilakukan kodifikasi hukum Islam yang diundang-undangkan oleh negara. Kesultanan Malaka memiliki kodifikasi hukum Risalah Hukum Kanun yang disusun pada masa pemerintahan Sultan Muzaffar Syah (1446-1456) yang memuat tentang banyak hal untuk mengatur kehidupan masyarakat. Risalah Hukum Kanun dari Kesultanan Malaka ini diduga secara luas diduga diterapkan oleh berbagai kerajaan dan kesultanan Islam Melayu karena beberapa salinannya ditemukan di Riau, Pahang, Pontianak, dan Brunai; Kesultanan Aceh Darussalam memiliki kodifikasi hukum Islam yang dinamakan Kitab Adat Mahkota Alam yang diduga disusun pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636); Kerajaan Mataram Islam memiliki Hukum Kisas yang disusun pada masa Sultan Agung; Kesultanan Cirebon memiliki undang-undang yang disebut pepakem; sedangkan Kesultanan Banten sebagaimana laporan seorang pengamat Belanda memiliki kitab hukum Islam sendiri yang diundangkan oleh Kesultanan Banten yang tidak diketahui nama kitab tersebut. (22)
3. Zaman Kolonial Belanda
Periode keberlakuan hukum Islam di Indonesia pada zaman kolonial Belanda di Nusantara dimulai sejak kedatangan bangsa Eropa yang menjajah Nusantara pada permulaan abad ke-17 M, khususnya keberhasilan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau Persekutuan Dagang Hindia Timur) Belanda yang praktis menduduki Malaka sampai tahun 1943 ketika Pemerintah Kolonial Belanda takluk dan menyerahkan daerah jajahannya di Indonesia pada bangsa Jepang.
Pada masa Belanda, keberlakuan hukum Islam mengalami dua fase, yaitu :
a. Pemberlakuan Hukum Islam secara Penuh sebagai Hukum Materiil Peradilan
Ketika bangsa Belanda datang menjajah Nusantara, mereka melihat bahwa hukum Islam telah menjadi hukum yang hidup (living law) pada rakyat Indonesia dan telah dipraktekkan bertahun-tahun, bahkan telah menjadi ”adat yang diadatkan.”
Seorang ahli hukum Belanda, yaitu Lodewijk Willem Christiaan van den Berg (1845-1927) meneliti keberadaan hukum Islam di Nusantara antara tahun 1870 s.d. 1887, kemudian mengemukakan teori receptie in complexu. Teori receptie in complexu menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab ia telah memeluk agama Islam, walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. Van den Berg melihat umat Islam Indonesia sejak masa dahulu telah menerima hukum Islam dan menjadi hukum yang hidup (living law) pada masyarakat adat dan kesultanan-kesultanan Islam di Indonesia. Namun adat-istiadat yang telah lama hidup dalam masyarakat tetap pula dipertahankan bersama dengan hukum Islam, bahkan dalam beberapa hal disinkretisasi dan diakulturalisasi dengan ajaran Islam, sehingga dalam pelaksanaan hukum Islam terdapat penyimpangan-penyimpangan, misalnya hukum adat warisan yang bersifat matrilineal di Minangkabau, tradisi kejawen pada suku Jawa, dan sebagainya. (23)
Teori receptie in complexu sebenarnya menurut penulis bukan dilatarbelakangi oleh keinginan orientalis dan pemerintah kolonial Belanda untuk melindungi dan mengembangkan hukum Islam. Paradigma orientalisme yang berkembang pada abad ke-18 M. s.d. sampai memasuki abad 19 M. masih cenderung mengobjektivikasi Islam sebagai ajaran yang dikonstruk oleh Rasulullah saw, sehingga Islam disebut sebagai Mohammadanische (ajaran Muhammad saw.), sehingga lebih berorientasi pejoratif. Hukum Islam juga bagi banyak orientalis yang hidup pada kurun abad tersebut masih dipandang sebagai hukum yang dikonstruk oleh ajaran Rasulullah saw. pribadi, bukan hukum Tuhan. (24)
Meski pun teori receptie in complexu bukan didasarkan pada keinginan melindungi dan mengembangkan hukum Islam, tetapi teori ini telah memberikan konstribusi bagi eksisnya hukum Islam dalam administrasi hukum dan peradilan era kolonial Belanda.
Teori receptio in complexu ini sesuai dengan Regeerings Reglement (Staatsblad 1884 No. 129 di Negeri Belanda jo. S.1885 No. 2 di Indonesia, terutama diatur dalam Pasal 75, Pasal 78 jo, Pasal 109 RR disebutkan:
Pasal 75 ayat (3) R.R tersebut mengatur:
“Apabila terjadi sengketa perdata antara orang-orang Indonesia yang beragama Islam oleh hakim Indonesia haruslah diperlakukan Hukum Islam gonsdientig wetten dan kebiasaan mereka.
Sedangkan dalam ayat (4) Pasal 75 R.R. disebutkan:
“Undang-undang agama, adat dan kebiasaan itu juga dipakai untuk mereka oleh Hakim Eropa pada pengadilan yang Huger Beroep, bahwa dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia atau mereka yang dipersamakan dengan orang Indonesia, maka mereka tunduk kepada keputusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka menurut undang-undang agama atau ketentuan
lama mereka.
Menurut Pasal 109 R.R. ditentukan pula:
“Ketentuan seperti tersebut dalam Pasal 75 dan Pasal 78 itu berlaku juga bagi mereka yang dipersamakan dengan orang-orang Indonesia, yaitu orang-orang Arab, Moor, orang Cina dan semua mereka yang beragama Islam, maupun orang-orang yang tidak beragama.
Menurut Pasal 7 Rechterlijke Organisatie ditetapkan:
“Sidang-sidang pengadilan negeri (landraad) harus dihadiri oleh seorang fungsionarie yang mengetahui seluk beluk agama Islam, kalau yang dihadapakan itu tidak beragama Islam, maka penasehat itu adalah kepala masyarakat dari orang itu. (25)

Pemerintah Hindia Belanda juga membentuk pengadilan agama dimana berdiri pengadilan negeri dengan Staatsblad 1882 No. 152 dan 153, kemudian diiringi terbentuknya pengadilan tinggi agama (Mahkamah Syar’iyyah) yang berfungsi sebagai pengadilan agama tinggi banding dan terakhir berdasarkan Pasal 7 g Staatsblad 1937 No. 610 serta tahun 1937 dengan Staatsblad 1937 No. 638 dan 639 dibentuk pula peradilan agama di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur dengan nama Pengadilan Qadhi Kecil pada tingkat pertama dan Pengadilan Qadhi Besar untuk tingkat banding dan terakhir. (26) Pengadilan Agama juga dibentuk di Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua Barat yang disebut Majelis Syara’ atau Hakim Syara’, sedangkan di Sumatera disebut Mahkamah Syari’ah. (27)
Pemerintah kolonial Belanda malah memfasilitasi kodifikasi hukum Islam yang nantinya akan dijadikan panduan oleh hakim-hakim Landraad dalam menjalankan kekuasaan judikatifnya terhadap umat Islam di Nusantara, antara lain :
1) Compendium Freijer yang merupakan kodifikasi hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam yang dibuat oleh Pengadilan VOC , kemudian dilegislasi melalui Resolutie der Indische Regering pada tanggal 25 Mei 1760.
2) Cirsbonscg Rechboek yang dibuat atas usul Residen Cirebon, yaitu Mr. P.C. Hosselaar (1757-1765).
3) Compendium der Voornaamste Javaansche Wetten nauwkeurig gettrokken uit her Mohammadaansche Wetboek Mogharrer yang dibuat pada tahun 1750 untuk Landraad Semarang.
4) Compendium Indlansche Wetten bij de Hoven van Bone en Goa yang disahkan oleh VOC untuk diberlakukan pada wilayah Makassar.
5) Boedelsscheidingen of Java volgens de kitab Saphi’i yang dibuat oleh J.E.W. Van Nes pada tahun 1850.
6) Handboek van het Mohammadaansche Recht yang dibuat oleh A. Meurenge pada tahun 1844. (28)
b. Pemberlakuan Hukum Islam setelah Diresepsi Hukum Adat di Lembaga Peradilan
Memasuki abad ke-19 M., Pemerintah Kolonial Belanda sering berhadapan dengan perjuangan rakyat Indonesia yang dipelopori para ulama dan tokoh-tokoh Islam, setelah para raja mereka dikalahkan oleh Belanda. (29) Di sisi lain, Pemerintah Kolonial Belanda khawatir terhadap pengaruh Pan-Islamisme dan pembaharuan Islam pada awal abad ke-19 M. yang dikhawatirkan membangkitkan perlawanan bangsa-bangsa terjajah yang beragama Islam terhadap bangsa Eropa. (30) Di dalam negeri Belanda sendiri muncul gerakan politik etis yang menuntut kebijakan lebih etis dan moral terhadap rakyat jajahan. Dengan munculnya gerakan ini, hubungan dengan daerah jajahan tidak lagi seperti negara penjajah dan dijajah, tetapi hendak dikembangkan menjadi semacam aliansi atau federasi dalam ketatanegaraan. Timbullah ide Kerajaan Nederland Raya yang hendak mendudukkan daerah jajahan secara lebih baik dari masa-masa sebelumnya yang tentu mempersyaratkan adanya kedekatan hubungan Belanda dengan rakyat Indonesia. (31)
Pemerintah Belanda pada tahun 1898 mengangkat seorang Orientalis asal Belanda yang ahli dalam hukum Islam dan hukum adat, yaitu; Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda tentang soal-soal Islam dan anak negeri. Snouck sebagaimana umumnya dari kalangan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu memiliki kekhawatiran yang sama tentang pengaruh Pan-Islamisme. Ia melihat bahwa sikap Pemerintah Hindia Belanda sebagaimana dituangkan dalam Stbl. 1882 No. 152 yang dilandasi teori receptie in complexu bersumber dari ketidakmengertian terhadap situasi masyarakat pribumi, khususnya umat Islam. Menurutnya bahwa sikap pemerintah Hindia Belanda selama ini lebih banyak merugikan pemerintah Hindia Belanda. Snouck dengan kapasitasnya sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda kemudian mengemukakan saran berbagai kebijakan dalam mengurus Islam di Indonesia dengan berusaha menarik rakyat pribumi lebih dekat kepada kebudayaan Eropa dan pemerintah Hindia Belanda yang dikenal dengan “Islam Policy”, yaitu: (32)
1) Dalam kegiatan agama dalam arti sebenarnya (agama dalam arti sempit), pemerintah Hindia Belanda hendaknya memberikan kebebasan secara jujur tanpa syarat bagi orang-orang Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya.
2) Dalam lapangan kemasyarakatan, pemerintah Hindia Belanda hendaknya menghormati adat-istiadat dan kebiasaan rakyat yang berlaku dengan membuka jalan yang dapat menuntut taraf hidup rakyat jajahan kepada suatu kemajuan yang tenang ke arah mendekati pemerintah Hindia Belanda dengan memberikan bantuan kepada mereka yang menempuh jalan ini.
3) Dalam lapangan ketatanegaraan mencegah tujuan yang dapat membawa atau menghubungkan gerakan Pan-Islamisme yang mempunyai tujuan untuk mencari kekuatan-kekuatan lain dalam hubungan menghadapi pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat bangsa Timur.

Dalam rangka mewujudkan penerapan Islam Policy di bidang hukum, maka Snouck mengemukakan teori receptie, kemudian dikembangkan oleh C. Van Vollenhoven dan Ter Haar Brn. Teori ini menegaskan bahwa bahwa bagi rakyat pribumi di Indonesia pada dasarnya berlaku hukum adat. Hukum Islam diberlakukan apabila norma hukum Islam apabila di masyarakat telah diterima sebagai hukum adat. Teori ini muncul dilegitimasi dengan penelitian Snouck terhadap hukum adat Aceh dan Gayo dalam karya ilmiahnya De Atjehers dan De Gajoland. (33) Van Vollenhoven kemudian mengembangkan teori receptie dengan membagi wilayah Indonesia menjadi 19 lingkungan hukum adat, (34) sehingga seakan-akan dikesankan bahwa hukum adat terpisah dengan hukum agama dalam masyarakat Indonesia.
Realisasi teori receptie ini yaitu terjadinya perubahan secara sistematis Regeerings Reglement Stbl. 1855 No. 2 menjadi Wet Op De Staats Inrichting Van Nederlands Indie Atau Indische Staats Regeling atau I.S. pada tahun 1925 (Stbl. 1925 No. 416) seterusnya dengan Stbl. 1929 No. 221. Pasal 134 (2) IS tahun 1929 menegaskan :
Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi. (35)

Hukum Islam sebagai salah satu basis kesadaran keberagamaan hendak ditanggalkan dari kehidupan masyarakat Indonesia yang beragama Islam dengan memunculkan hukum adat sebagai tandingannya. Di sisi lain, pemunculan hukum adat diharapkan dapat mendekatkan pemerintah kolonial Belanda terhadap kaum adat di Nusantara untuk mewujudkan taktik devide et empera (politik pecah belah).
Pemerintah Hindia Belanda secara sistematis kemudian melumpuhkan dan menghambat pengembangan hukum Islam di Indonesia dengan berbagai cara, yaitu: (36)
1) Hukum hudūd dan qisas dalam lapangan hukum pidana Islam (fiqh al-jināyah) dikeluarkan sama sekali dari tata hukum dan digantikan dengan hukum pidana Belanda atau Wetbock van Stafrect yang diberlakukan sejak Januari 1919 dengan Stbl. 1915 : 732.
2) Hukum tata negara Islam (fiqh al-siyāsah) dihancurkan sama sekali. Pengajian ayat al-Qur’an atau hadis yang menyangkut politik Islam atau ketatanegaraan dilarang.
3) Mempersempit hukum keluarga yang menyangkut hukum perkawinan Islam (fiqh al-munākahah) dan hukum kewarisan Islam (fiqh al-mawāris). Hukum kewarisan Islam diupayakan agar tidak berlaku dengan cara menanggalkan kewenangan Pengadilan Agama di Jawa dan Kalimantan Selatan mengadili masalah waris, memberikan kewenangan masalah waris kepada pengadilan umum (Landraad), serta melarang penyelesaikan perkara dengan menggunakan hukum Islam jika di tempat adanya perkara tidak diketahui bagaimana bunyi hukum adat. (37)
3. Zaman Pendudukan Jepang
Periode ini dimulai sejak pada tahun 1943 ketika pemerintah kolonial Belanda bertekuk lutut terhadap tentara Jepang sampai kemerdekaan R.I pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pemerintah Pendudukan Jepang tidak melakukan perubahan terhadap kebijakan hukum di Indonesia setelah mereka menguasai Nusantara. Hal ini disebabkan singkatnya masa pendudukan mereka terhadap Nusantara (3 ½ tahun) dan situasi Peramg Dunia II saat itu yang menjadikan Pemerintah Pendudukan Jepang lebih terfokus untuk mengarahkan segala potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia agar dapat membantu mereka memenangi Perang Dunia II. Kebijakan Pemerintah Pendudukan Jepang terhadap peradilan agama tetap meneruskan kebijakan sebelumnya (masa kolonial Belanda). Kebijakan tersebut dituangkan dalam peraturan peralihan Pasal 3 Undang-Undang Bala Tentara Jepang (Osamu Sairei) tanggal 7 Maret 1942 No.1. hanya terdapat perubahan nama Pengadilan Agama, sebagai peradilan tingkat pertama yang disebut “Sooryoo Hooim” dan Mahkamah Islam Tinggi, sedangkan tingkat banding disebut “kaikyoo kootoohoin”. (38)
Namun Pemerintah pendudukan Jepang berupaya menarik simpati umat Islam sebagai umat mayoritas di Indonesia, sehingga memberikan peluang bagi para ulama dan tokoh-tokoh Islam untuk mengembangkan pemberlakuan kembali hukum Islam di Indonesia, antara lain: (39)
a. Upaya untuk memulihkan kewenangan Pengadilan Agama dalam masalah kewarisan dan perwakafan tetap dilakukan melalui Sanyo Kaigi (Dewan Pertimbangan) oleh para ulama dan tokoh-tokoh agama Islam, meskipun mendapat penentangan dari tokoh-tokoh nasionalis sekuler.
b. Mulai dirintis lembaga resmi pemerintah yang mengurus keberadaan umat Islam, melalui Kantoor Voor Het Islanddsche Zaken menjadi Sumubu dan diperluas kewenangannya sampai mengurus masalah kehakiman bagi orang Islam. Pada tanggal 1 April 1944 dimulai pembentukan Sumubu di setiap keresidenan. Sumubu inilah yang akhirnya menjadi cikal bakal bagi lahirnya Kementerian Agama R.I. dan Kantor Urusan Agama (KUA).

4. Zaman Kemerdekaan R.I
Periode keberlakuan hukum Islam di Indonesia pada zaman kemerdekaan R.I. dimulai sejak kemerdekaan R.I pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai masa kini.
Pada masa kemerdekaan R.I., agama Islam dipandang sebagai salah satu agama yang hidup di Indonesia yang dihormati dan dilindungi haknya untuk dipraktekkan serta diamalkan oleh rakyat di Indonesia berdasarkan:
a. Sila pertama Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
b. Pasal 28E ayat (1) UUD 1945:
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (40)

c. Pasal 29 UUD 1945:
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. (41)

d. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU. No. 39/1999):
(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu. (42)

Islam tidak dijadikan sebagai agama negara sebagaimana masa kesultanan dan kerajaan Islam, sehingga sistem hukum Islam bukan satu-satunya pembentuk hukum nasional. Sistem hukum Islam dipandang sebagai salah satu pembentuk hukum nasional bersama dengan sistem hukum adat (43) dan sistem hukum Barat, khususnya sistem hukum Eropa Kontinental warisan pemerintah Kolonial Belanda. (44)

Di era kemerdekaan R.I., para ulama, cendekiawan muslim dan ahli hukum Islam Indonesia melawan pengaruh dari teori receptie yang merugikan hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia, di antaranya:
a. Teori Receptie Exit
Hazairin merumuskan teori receptie exit yang menegaskam fungsi hukum dan hukum Islam serta sumber hukum. Ia berpendirian bahwa setelah Indonesia merdeka, setelah Proklamasi Kemerdekaan R.I., dan UUD 1945 dijadikan konstitusi negara, maka teori receptie yang dikemukakan oleh Snouck semestinya exit (dikeluarkan dari tata hukum Indonesia), walaupun menurut Peraturan Peralihan dalam UUD 1945 (45) seluruh peraturan perundang-undangan Hindia Belanda masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru. Menurut Hazairin bahwa teori receptie dan semua produk peraturan perundang-undangan yang lahir didasarkan atau terpengaruh oleh teori ini adalah bertentangan dengan jiwa UUD 1945. Hazairin bahkan menyebut teori receptie sebagai teori iblis karena bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. (46)
Menurut Hazairin bahwa setelah Proklamasi Kemerdekaan R.I. dan diberlakukannya UUD 1945 didalamnya ada semangat kemerdekaan di bidang hukum. Adanya Peraturan Peralihan dalam UUD 1945 memang dibutuhkan untuk menghindari terjadikan kevakuman hukum, namun bangunan-bangunan hukum yang diberlakukan semestinya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Beliau berpendapat bahwa banyak produk hukum Hindia Belanda yang bertentangan dengan UUD 1945, terutama produk teori receptie. NKRI sangat akrab dengan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana dinyatakan dengan tegas pada Pancasila sila pertama, Alinea ke-3 Pembukaan UUD 1945 (atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan untuk hidup bebas maka dengan ini bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya), serta pasa ke-29 UUD 1945. Istilah ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam UUD 1945 tidak dikandung niat untuk menyingkirkan hukum Islam dan hukum agama. Dengan adanya istilah ”Ketuhanan Yang Maha Esa” maka hukum agama harus diberlakukan di Indonesia bagi penganut-penganutnya. Hal ini bukan berarti hanya pemberlakuan hukum Islam saja bagi umat Islam Indonesia, namun hukum-hukum agama lain bagi pemeluk-pemeluk agama lainnya yang diakui di Indonesia. Hukum agama harus masuk dan diserap menjadi hukum nasional Indonesia. Itulah hukum baru Indonesia dengan dasar Pancasila. (47)
Teori receptie exit sebenarnya dilatarbelakangi oleh bangkitnya kesadaran beragama di kalangan ahli hukum Indonesia yang beragama Islam untuk menerapkan hukum Islam dalam politik dan budaya hukum nasional pasca kemerdekaan Indonesia. Teori receptie dipandang sebagai penghalang terbesar untuk mengintegrasikan hukum Islam sebagai salah satu bagian pembentuk hukum nasional Indonesia, sehingga harus dihancurkan terlebih dahulu secara akademis agar memberikan peluang bagi pemberlakukan hukum Islam di Indonesia.
Namun tinjauan receptie exit masih berbentuk tinjauan hukum ketatanegaraan dan belum mendekonstruksi ”nilai akademis” teori receptie yang didasarkan penelitian Snouck terhadap hukum adat Aceh dan Gayo dalam karya ilmiahnya De Atjehers dan De Gajoland. Dengan kata lain, teori receptie exit belum sepenuhnya mampu memberikan ”pukulan mematikan” bagi teori receptie. Hal ini membuat teori receptie masih tetap eksis dalam keyakinan akademis banyak para ahli hukum, terutama ahli hukum adat Indonesia.
b. Teori Receptie A Contrario
Teori receptie a contrario dikemukakan oleh Sajuti Thalib (murid utama Hazairin)., kemudian didukung dan diperkuat oleh ahli-ahli hukum Islam dan hukum adat yang beragama Islam seperti Ichtijanto, Abdullah Sidik dan sebagainya.
Teori receptie a contrario menegaskan bahwa bagi umat Islam Indonesia berlaku hukum Islam. Hukum adat baru diberlakukan bagi umat Islam Indonesia apabila hukum adat tersebut telah diterima (receptie) oleh hukum Islam. Dengan kata lain, receptie a contrario merupakan “pembalikan total” dari teori receptie. Teori ini muncul dan diperkuat secara akademis melalui penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional bersama Fakultas Hukum Universitas Indonesia, IAIN Banjarmasin, Laporan Penelitian Direktorat Pembinaan Administrasi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Kehakiman, maupun penelitian mandiri yang dilakukan Thalib, Ichtijanto, dan Sidik terhadap hukum adat Aceh, Gayo, Rejang Minangkabau dan sebagainya. (48)

Beberapa fakta hukum yang dikemukakan oleh teori receptie a contrario, antara lain:
1) Adat pada suku Aceh yang dilaksanakan dengan ketentuan tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Pepatah Aceh mengatakan “Hukoom Ngon Adat, Handjuet Tjree, Lagee Zat Ngon Sipheuet”, artinya hukum dan adat tidak boleh bercerai-berai sebagai unsur dan sifatnya. Dengan kata lain, kebijakan yang diambil pemerintah, hakim atau masyarakat tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam sekaligus tidak boleh bercerai-berai dengan adat-istiadat Aceh. Pada masa Kerajaan Aceh Darussalam, raja tidak boleh sewenang-wenang menjalankan kekuasaannya. Semua ketentuan dan undang-undang harus sesuai dengan hukum Islam, minimal tidak bertentangan dengan hukum Islam. (49)
2) Suku Minang di Sumatera Barat muncul pepatah “Adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah”, artinya hukum adat bersumber dari hukum Islam, dan hukum Islam bersumber dari al-Qur’an. (50)
3) Diberlakukannya hukum pidana hudūd bagi pencuri dengan memotong tangan di sejumlah Kesultanan di Nusantara, seperti Banten dan kerajaaan Melayu lainnya. Sebelumnya, pidana pencurian hanya dikenakan denda. (51)
4) Suku Kaili yang kebanyakan mendiami Kota Palu, Kabupaten Banggai Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Parigi Moutong di Provinsi Sulawesi Tengah sebelum memeluk Islam, apabila seorang laki-laki hendak menikah dengan seorang perempuan, maka mereka akan menyampaikan kepada ketua dewan adat. Dewan adat lalu mengambil air bersih dari sumber mata air, kemudian air tersebut dipercikkan kepada kedua calon mempelai tersebut. Hal ini menandai selesainya perkawinan. Namun ketika Suku Kaili telah memeluk Islam, maka tata cara perkawinan dilakukan sesuai hukum Islam. (52)
5) Suku Bugis di Sulawesi Selatan, sebelum mereka memeluk Islam melakukan pembagian harta warisan yang sama bagiannya (1 : 1) antara ahli waris laki-laki dan perempuan. Namun setelah mereka memeluk Islam, maka pembagian harta warisan dilakukan secara Islam, yaitu bagian anak laki-laki berbanding bagian dua anak perempuan (1 : 2). Pembagian harta warisan ini tertuang dalam ungkapan Suku Bugis “majjunjung makkunraie mallempa oroane”. (53)
Teori receptie a contrario merupakan kelanjutan dan penyempurnaan terhadap teori receptie exit yang dilatarbelakangi oleh keinginan kuat mendekonstruksi secara total teori receptie yang dipandang sebagai penghalang bagi pemberlakuan hukum Islam di Indonesia. Thalib merupakan seorang santri lulusan Sumater Thawalib, Padang Panjang yang tentu sangat mempengaruhi corak berfikir keislamannya terhadap studi-studi hukum yang dilakukannya, sehingga sangat beralasan jika Thalib berkeinginan kuat mendekonstruksi secara total teori receptie serta menyempurnakan teori receptie exit gurunya (Hazairin).
c. Teori Eksistensi
Teori eksistensi merupakan teori yang dikemukakan oleh Ichtijanto yang menegaskan bahwa hukum Islam ada di dalam hukum nasional. Bentuk eksistensi hukum Islam di dalam hukum nasional Indonesia adalah: (54)
1. ada dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia.
2. ada dalam arti adanya dengan kemandiriannya yang diakui adanya dan kekuatan dan wibawanya oleh hukum nasional dan diberi status sebagai hukum nasional.
3. ada dalam hukum nasional dalam arti norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia.
4. ada dalam arti sebagai bahan utama hukum nasional Indonesia. (55)

Teori eksistensi ini dapat dikatakan merupakan puncak dari revolusi teori pemberlakuan hukum Islam di Indonesia yang secara tegas menyatakan bahwa hukum Islam memang nyata keberadaannya sebagai bahan pembentuk hukum nasional. Sekali pun NKRI bukanlah negara Islam dan tidak menjadikan Islam sebagai agama negara, namun keberadaan hukum Islam benar-benar eksis dan dijalankan oleh bangsa Indonesia dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan. Hukum Islam tidak hanya menjadi hukum yang hidup (ius non scriptum) atau hukum yang hidup di masyarakat (living law), tetapi eksis sebagai hukum formal yang terligislasi (ius scriptum) dalam peraturan perundang-undangan.
Ada banyak undang-undang di Indonesia yang telah memuat hukum Islam atau menjadikan hukum Islam sebagai bahan utama, sehingga menjadikan hukum Islam sebagai bagian integral dari hukum nasional yang dapat dibagi menjadi tiga klasifikasi, antara lain:
1) Undang-undang yang langsung mengintegrasikan hukum Islam sebagai hukum nasional, yaitu:
a) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (selanjutnya disebut UU. No. 22 Tahun 1946) serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk Di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura (selanjutnya disebut UU. No. 32 Tahun 1854). Undang-Undang ini mengatur secara formil tata cara perkawinan umat Islam Indonesia.
b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU. No. 1 Tahun 1974). Undang-undang ini menjadikan hukum perkawinan Islam sebagai bahan utama. Hukum agama dijadikan kriteria sah atau tidaknya suatu perkawinan, sehingga perkawinan umat Islam dinyatakan sah jika dilakukan sesuai dengan hukum Islam.
c) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut UU. No. 7 Tahun 1989) dan amandemennya, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut UU. No. 3 Tahun 2006). Kedua undang-undang ini mengakui eksistensi Peradilan Agama sebagai Peradilan yang mengadili perkara perdata umat Islam. UU. No. 3 Tahun 2006 bahkan memperluas kompetensi absolut Peradilan Agama untuk mengadili perkara ekonomi syariah dan meneguhkan kompetensi absolut Peradilan Agama memutuskan sengketa kewarisan apabila objek hukumnya adalah orang Islam yang dahulunya harus diputus oleh Peradilan Umum.
d) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-undang ini melegislasi zakat sebagai rukun Islam ke-3 untuk diintegrasikan sebagai bagian dari hukum nasional.
e) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-undang ini mengakui eksistensi lembaga perbankan syari’ah dan lembaga keuangan syari’ah yang menjalankan ekonomi di bidang perbankan dan keuangan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum ekonomi Islam (fiqh al-mu•āmalah)
f) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggoroe Aceh Darussalam. Undang-undang ini memberikan kewenangan seluas-luasnya bagi Provinsi Nanggoroe Aceh Darussalam untuk memberlakukan hukum Islam, baik dalam masalah perdata maupun pidana dan mengakui Mahkamah Syar’iyyah sebagai bagian dari lembaga peradilan nasional khusus untuk provinsi ini untuk mengadili perkara perdata dan pidana bagi umat Islam Aceh, sedangkan tingkat kasasinya masih tetap menjadi kewenangan absolut Mahkamah Agung.
g) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Undang-undang ini melegislafi hukum Islam tentang perwakafan (fiqh al-waqaf) diintegrasikan menjadi bagian hukum nasional.
h) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan perubahannya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Undang-undang dan Perpu ini memberikan petunjuk pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji dan umrah bagi umat Islam.
i) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara. Undang-undang ini adalah melegislasi keberadaan surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap Aset SBSN (Surat Berharga Syariah Negara), baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
j) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. Undang-undang ini mengatur tentang keberadaan perbankan syari’ah yang menjalankan ekonomi perbankan sesuai prinsip-prinsip hukum ekonomi Islam yang bebas riba.
2) Undang-undang menjadikan hukum Islam norma dan pertimbangan utama dalam menjalankan hukum nasional, yaitu:
a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Dalam pasal 5 undang-undang ini tergambar secara jelas bahwa hukum Islam merupakan sumber hukum nasional pertahanan dan bahan pertimbangan utama untuk menerima kaidah-kaidah hukum adat menjadi hukum nasional karena ditegaskan bahwa hukum agraria nasional Indonesia adalah hukum adat selama tidak bertentangan dengan hukum agama, kesusilaan dan lain-lain.
b) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-undang ini mengakui eksistensi lembaga perbankan syari’ah dan lembaga keuangan syari’ah yang menjalankan ekonomi di bidang perbankan dan keuangan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum ekonomi Islam (fiqh al-mu•āmalah)
c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang ini mewajibkan adanya keterangan tentang Label Halal untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen yang beragama Islam, sehingga hukum Islam tentang makanan (fiqh al-ath•imah) menjadi sumber hukum pangan nasional dalam mengawasi peredaran pangan, baik dalam proses produksi, promosi, distribusi dan konsumsi pangan.
d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam undang-undang ini, diatur tentang hak pengasuhan anak serta adopsi anak yang harus memperhatikan agama anak. Jika adopsi anak dilakukan oleh lembaga adopsi anak yang berlandaskan agama, maka harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip agama. Dengan kata lain, jika adopsi anak dilakukan oleh lembaga adopsi Islam maka adopsi tersebut harus berlandaskan hukum Islam. Negara juga diwajibkan oleh undang-undang ini melakukan perlindungan anak, termasuk dalam hal agama anak meliputi pembinaan, pembimbingan dan pengamalan agamanya, sehingga hukum Islam menjadi norma utama dalam pengasuhan anak-anak yang beragama Islam.
e) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Undang-undang ini mewajibkan penyiaran nasional dan lembaga-lembaga penyiaran di Indonesia harus menjaga dan meningkatkan moralitas serta nilai-nilai penghayatan agama, tentu termasuk agama Islam dan hukum-hukum Islam bagi umat Islam. Isi siaran juga dilarang mempertentangkan agama atau memperolok, merendahkan atau melecehkan agama dan pengamalan agama, tentu termasuk agama Islam dan hukum-hukum Islam. Bahkan panduan penyiaran harus disusun dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama dan rasa hormat terhadap pandangan keagamaan.
f) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang ini memberikan perlindungan bagi tenaga kerja untuk menjalankan ibadahnya, sehingga seorang pengusaha tidak boleh mempekerjakan seorang tenaga kerja dalam hal pekerjaan yang bertentangan dengan ajaran dan hukum agama tenaga kerja tersebut, bahkan seorang pengusaha dilarang tidak membayarkan upah atau melakukan PHK karena seorang tenaga kerja meninggalkan pekerjaannya untuk menjalankan ibadahnya.
g) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU. No. 4 Tahun 2004) dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UU. No. 5 Tahun 2004). Kedua undang-undang ini mengakui Peradilan Agama, baik Pengadilan Agama pada tingkat pertama maupun Pengadilan Tinggi Agama pada tingkat banding.
h) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa dalam menjalankan tugas dan kewenangannya menurut undang-undang ini harus memperhatikan norma-norma keagamaan serta mencegah penodaaan dan penyalahgunaan agama.
i) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Undang-undang ini melarang segala bentuk tindakan pornografi yang tujuannya salah satunya demi melindungi, melestarikan dan menjunjung tinggi ritual keagamaan.
Selain undang-undang, masih banyak lagi produk hukum nasional lainnya di bawah undang-undang yang melegislasi hukum Islam sebagai bagian dari hukum nasional, antara lain:
1) Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) yang memuat tentang hukum perkawinan, hukum kewarisan, hibah, wasiat dan perwakafan yang ditetapkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama R.I. Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden R.I. Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.
2) Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama R.I. Nomor 128 Tahun 1982 dan Nomor 44 A Tahun 1982 tentang Usaha Peningkatan Kemampuan Baca Tulis al-Qur'an dalam rangka Peningkatan Penghayatan dan Pengamalan al-Qur'an dalam Kehidupan Sehari-Hari yang mengharuskan para Gubernur, Bupati, Camat, sampai lurah dan kepala desa dapat berperan aktif terhadap Program Peningkatan Kemampuan Baca Tulis Huruf al-Qur'an serta pengamalannya dalam masyarakat.
3) Keputusan Menteri Agama R.I. Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal yang mengatur tentang hukum formil untuk memeriksa dan menetapkan suatu produk pangan dinyatakan kehalalannya.
Dengan hadirnya kebijakan otonomi daerah pada tahun 1999 berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah serta diakuinya, maka banyak lahir peraturan daerah di Provinsi, Kabupaten atau Kota yang melegislasi hukum Islam atau menjadikan hukum Islam sebagai bahan utama penyusunan peraturan daerah tersebut. Keberadaan peraturan daerah ini memiliki kekuatan hukum sebagai bagian dari produk hukum nasional, (56) sehinggga apabila hukum Islam masuk dilegislasi menjadi peraturan daerah, maka sama halnya menguatkan posisi hukum Islam sebagai bahan utama penyusun hukum nasional. Beberapa peraturan daerah yang melegislasi hukum Islam, antara lain: (57)
1) Qanun Provinsi Nanggoroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Syariat Bidang Ibadah, Akidah, dan Syiar Islam di Aceh
2) Qanun Provinsi Nanggoroe Aceh Darussalam Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Judi).
3) Qanun Provinsi Nanggoroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum)
4) Qanun Provinsi Nanggoroe Aceh Darussalam Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat.
5) Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2001 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Maksiat.
6) Peraturan Daerah Kabupaten Banggai Kepulauan Nomor 1 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Zakat.
Hal ini memperlihatkan bahwa teori receptie yang dikemukakan oleh Snouck, Teer Har Bzn, dan Van Vollen Hoven telah “menemui ajalnya” ketika fakta hukum menunjukkan bahwa hukum Islam benar-benar eksis di Indonesia tanpa perlu di-receptie oleh hukum adat.
Trend legislasi hukum nasional menunjukkan bahwa hukum Islam semakin kokoh di Indonesia dan mulai mendesak keberadaan hukum adat dan hukum barat, sekali pun Indonesia bukan negara Islam dan tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara. Dalam masalah hukum perdata dan keluarga nasional dapat dikatakan hampir semua telah melegislasi hukum Islam atau minimal menjadikan hukum Islam sebagai bahan utama, norma utama dan bahan pertimbangan utama bagi legislasi hukum nasional. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar disebabkan beberapa hal, antara lain:
Tidak menutup kemungkinan hukum pidana Islam (fiqh al-jināyah) juga akan dilegislasi atau minimal dijadikan norma utama dan bahan pertimbangan utama bagi legislasi hukum pidana nasional. Hal ini diperlihatkan oleh beberapa indikasi, antara lain:
1) Hukum pidana Islam telah mendapatkan tempat melalui qanun-qanun pada Provinsi Nanggoroe Aceh Darussalam. Jika pelaksanaan hukum pidana Islam di Provinsi Nanggoroe Aceh Darussalam berhasil, maka kemungkinan besar Provinsi, Kabupaten atau Kota lain yang mayoritas muslim akan mengikuti jejak ini.
2) Upaya amandemen terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Wetbock van Stafrect peninggalan Pemerintah Hindia Belanda telah dilakukan dengan menghasilkan rancangan baru Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hukum Islam dapat menjadi norma utama atau bahan pertimbangan utama untuk mengamandemen Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan Pemerintah Hindia Belanda tersebut.
_______________________

Catatan Kaki

1) Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) : Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Ed. Revisi; Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah dan The Asia Foundation, 2003), h. 25-34; Wikipedia Foundation, Inc, ”Indonesia: Dari Wikipedia Indonesia, Ensiklopedi Bebas Berbahasa Indonesia,” http://groups.or.id/wikipedia/id/i/n/d/Indonesia.html, didownload tanggal 1 Januari 2010.
2) Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Cet. I; Bandung: Mizan, 2002), h. 24-26.
3) Ibid., h. 26-27; Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1998), h. 26-27.
4) Azyumardi Azra, “Islam Nusantara,” h. 28; Azyumardi Azra, “Jaringan Ulama,” h. 27-28. Pada tanggal 10-16 Juli 1978 dilakukan Seminar di Banda Aceh yang membahas khusus tentang sejarah masuknya Islam di Indonesia, kemudian disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M. dari Jazirah Arabiyah, sedangkan daerah yang pertama kali menjadi tempat penyebaran Islam adalah Aceh. Lihat A. Hasymy (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Kumpulan Prasaran pada Seminar di Aceh) (Cet. III; Bandung: Alma’arif, 1993), h. 10-14.
5) Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Ed. I; Cet. I; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 10-12.
6) Lihat H.A.R. Gibb, Modern Trends in Islam, diterjemahkan oleh Machnun Husein, Aliran-Aliran Moderen dalam Islam (Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 1990), h. 145-146. H.A.R. Gibb sebenarnya tidak menamakan teori ini dengan nama teori otoritas hukum atau teori kredo syahadat. Nama ini muncul dari para cendekiawan muslim Indonesia untuk kebutuhan ilmiah dan analisis pemberlakukan hukum Islam di Indonesia. Lihat Juhaya S. Pradja, “Aspek Pembaharuan Fiqh di Indonesia,” dalam Anang Haris Himawan (ed.), Epistemologi Syara’: Mencari Format Baru Fiqh Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: Walisongo dan Pustaka Pelajar, 2000), h. 125-126; Ichtijanto, “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia,” dalam Juhaya S. Praja (ed.), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukannya (Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), h. 114-117.
7) A. Hasymy, op. cit., h. 12.
8) H.A. Mustafa dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK (Cet.II; Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 35.
9) Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidayakarya Agung, 1984), h. 18-21.
10) Misalnya, jaringan penyebaran Islam di Sulawesi dimulai oleh para da’i dari Sumatera. Islam tersebar di Sulawesi Selatan relatif lebih lambat dari wilayah lain, yaitu sekitar abad ke-17 M. Meskipun diperkirakan bahwa umat Islam telah ada di Sulawesi Selatan lebih awal dari abad tersebut melalui hubungan dagang antara kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan dengan Kerajaan-Kerajaan Aceh dan Minangkabau, namun akselerasi penyebaran Islam terjadi setelah penguasa Kerajaan Gowa Tallo memeluk Islam pada tahun 1065. Lontara Wajo menyebutkan bahwa tiga orang datuk dari Minangkabau, yaitu: Abdul Makmur Khatib Tunggal yang populer dengan sebutan Datuk ri Bandang Sulaiman, Khatib Sulung yang populer dengan sebutan Datuk Patimang, dan Abdul Jawad Khatib Bungsu yang dikenal dengan nama Datuk ri Tiro berhasil mengislamkan Karaeng Matoaya, Raja Tallo yang Mangkubumi Kerajaan Gowa (tomabicara butta) dan Raja Gowa yang ke-14, yaitu I Mangngenri Daeng Manrabbia. Sumber lain menyebutkan bahwa ketiga utusan tersebut adalah utusan Kerajaan Aceh atas permintaan Karaeng Matoaya sendiri. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya muncul sebagai pusat penyebaran Islam di Sulawesi. Lihat Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai abad XVII) (Ed. II, Cet. II; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 89-90. Lihat pula H. Abd. Rahman Getteng, Pendidikan Islam di Sulawesi Selatan: Tinjauan Historis dari Tradisional hingga Modern (Cet. I; Yogyakarta: Graha Guru, 2005), h. 60-65. Seorang ulama Minangkabau yang bernama •Abdullah Raqi• yang dikenal dengan gelar Dato Karama tiba di Palu sekitar tahun 1650 bersama keluarganya dan menyebarkan Islam pada masyarakat Kaili, penduduk asli Lembah Palu. Atas upaya Dato Karama, Raja Kabonena yang bernama I Pue Ndjidi dan beberapa kelompok suku Kaili berhasil diislamkan. Dato Karama lalu tinggal di sebelah Barat Kota Palu yang sekarang ini menjadi bagian dari wilayah Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat yang tentunya menjadi pusat penyebaran Islam di Lembah Palu, Sulawesi Tengah. H.A. Mattulada, Sejarah Kebudayaan Orang Kaili (Palu: Badan Penerbit Universitas Tadolako, t.th.), h. 51. Lihat pula Zainuddin Ali, “Islam dan Kebudayaan Kaili di Sulawesi Tengah,” dalam Aswab Mahasin, et.al. (ed.), Ruh Islam dalam Budaya Bangsa, Aneka Budaya Nusantara (Cet. I; Jakarta: Yayasan Festifal Istiqlal, 1996), h. 146-147.
11) Mahmud Yunus, op. cit., h. 217.
12) H.A.R. Gibb, op. cit., h. 146-147. Teori H.A.R. Gibb ini sangat tepat untuk menggambarkan perubahan hukum adat pada masyarakat adat Suku Kaili di Sulawesi Tengah dan Suku Bugis di Sulawesi Selatan yang merubah total adat tata cara perkawinan dan pewarisan sesuai dengan hukum Islam, sebagaimana akan dijelaskan oleh penulis.
13) H.A. Mustafa dan Abdullah Aly, op. cit., h. 39.
14) Musyrifah Sunanto, op. cit., h. 13.
15) H.A. Mustafa dan Abdullah Aly, op. cit., h. 53-65;Kerajaan Islam di Nusantara dapat dilihat pada http:www.irshadi-bagas.blogspotcc, didownload tanggal 20 Maret 2010.
16) A.C. Milner, “Islam dan Negara Muslim,” dalam Azyumardi Azra (ed.), Perspektif Islam Asia Tenggara (Cet. I; Jakarta: Yayasan Obor, 1989), h. 149.
17) Musyrifah Sunanto, op. cit., h. 135-136.
18) Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, “Proses Islamisasi dan Munculnya Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh,” dalam A. Hasymy, op. cit., h. 414.
19) Ibid., h. 428.
20) A. Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisis Interaksionis, Integrasi dan Konflik (Ed. I; Cet. I; Jakarta: Yayasan Obor, 2003), h. 58.
21) Zaini Ahmad Noeh, “Kepustakaan Jawa sebagai Sumber Sejarah Perkembangan Hukum Islam,” dalam Amrullah Ahmad, et.al. (ed.), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 80.
22) Musyrifah Sunanto, op. cit., h. 137 dan 166-167.
23) Ichtijanto, op. cit., h. 117-118.
24) Hal ini bisa dilihat dalam istilah Mohammadanische yang digunakan untuk menyebut hukum Islam pada administrasi hukum kolonial Belanda, misalnya : Compendium der Voornaamste Javaansche Wetten nauwkeurig gettrokken uit her Mohammadaansche Wetboek Mogharrer yang dibuat pada tahun 1750 untuk Landraad Semarang; dan Handboek van het Mohammadaansche Recht yang dibuat oleh A. Meurenge pada tahun 1844.
25) Mohd .Idris Ramulyo, Asas-asas hukum Islam (Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia) (Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika, 1997), h. 55.
26) Ibid., h. 56.
27) Ichtijanto, op. cit., h. 120.
28) Ibid., h. 119-120.
29) Lihat Musyrifah Sunanto, op. cit., h. 29-30.
30) Ichtijanto, op. cit., h. 123. Pan-Islamisme merupakan gagasan dari seorang pembaharu Islam yang sangat berpengaruh pada awal abad ke-19, yaitu: Jamāluddīn al-Afgānī (1839-1897). Jamāluddīn al-Afgānī menyatakan dengan tegas bahwa musuh utama umat Islam adalah kolonialisme dan imperialisme bangsa Barat terhadap umat Islam yang merupakan lanjutan dari Perang Salib. Ia menyerukan umat Islam untuk menentang penjajahan di mana saja mereka berada. Umat Islam menurutnya harus bersatu dalam Pan-Islamisme. Pan-Islamisme bukan meleburkan kerajaan dan negara-negara Islam menjadi satu, tetapi harus mempunyai pandangan hidup yang satu yaitu kembali kepada al-Qur’ān dan al-Sunnah. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), Cet. XIX, h. 54-57.
31) Ichtijanto, loc. cit.
32) Ibid., h. 123-124.
33) Ibid., h. 124.
34) Bewa Ragawino, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia (t.t.: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, t.th.), h. 35-38.
35) Ismail Suny, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, dalam Amrullah Ahmad, op. cit., h. 132.
36) Ichtijanto, op. cit., h. 125.
37) Pada tahun 1937, lahir berbagai ordonansi yang menghapus kewenangan Pengadilan Agama mengadili perkara kewarisan dan dipindahkan kewenangan tersebut pada Pengadilan Umum (Landraad). Ordonansi tersebut, yaitu Stbl. 1937 No. 166 tentang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura, Stbl. 1937 No. 610 tentang MTT yang merupakan pengadilan banding, Stbl. 1937 No. 638 tentang Kerapatan Qadhi di Kalimantan Selatan, dan Stbl. 1937 No. 639 tentang Kerapatan Qadhi Besar yang merupakan Pengadilan tingkat banding di Kalimantan Selatan. Lihat ibid.
38) Junaidi, “Positivisasi Hukum Islam dalam Perspektif Pembangunan Hukum Nasional Indonesia di Era Reformasi”, Tesis (Surakarta: PPS-Universitas Sebelas Maret, 2009), h. 73.
39) H.A. Mustafa dan Abdullah Aly, op. cit., h. 99-100.
40) “Undang-Undang Dasar 1945”, dalam Sekretariat Jenderal MPR R.I., Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: t.p., 2006), h. 66.
41) Ibid., h. 68.
42) “ Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia”, dalam Tim ICCE UIN Jakarta, op. cit., h. 302.
43) Istilah hukum adat (adat recht) sebenarnya tidak dikenal didalam masyarakat, dan masyarakat hanya mengenal kata “adat” atau kebiasaan, tingkah laku seseorang yang terus-menerus dilakukan dengan cara tertentu dan diikuti oleh masyarakat luar dalam waktu yang lama, sebagaimana istilah al-•ādah dalam sistem hukum Islam (ilmu usūl al-fiqh). Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kalinya oleh Cristian Snouck Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De Acheers” (orang-orang Aceh), yang kemudian diikuti oleh Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat Recht van Nederland Indie”. Dengan adanya istilah ini, maka Pemerintah Kolonial Belanda pada akhir tahun 1929 mulai menggunakan secara resmi dalam peraturan perundang-undangan Belanda. Hazairin mendefinisikan hukum adat adalah adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat yaitu kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu. Sumber-sumber hukum adat, yaitu: (i) Adat-istiadat atau kebiasaan yang merupakan tradisi rakyat; (ii) kebudayaan tradisionil rakyat; (iii) ugeran/ Kaidah dari kebudayaan Indonesia asli; (iv) perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat; (v) pepatah adat; (vi) yurisprudensi adat; (vii) dokumen-dokumen yang hidup pada waktu itu, yang memuat ketentuan-ketentuan hukum yang hidup; (viii) kitab-kitab hukum yang pernah dikeluarkan oleh raja-raja; (ix) doktrin tentang hukum adat; serta (x) hasil-hasil penelitian tentang hukum adat; serta (xi) nilai-nilai yang tumbuh dan berlaku dalam masyarakat. Lihat Bewa Ragawino, op. cit., h. 3-15.
44) Sistem hukum Eropa Kontinental disebut pula rumpun hukum Romawi-Jerman atau Civil Law. Disebut hukum Eropa Kontinental karena sistem hukum ini banyak digunakan di Eropa Barat, khususnya Jerman, Belanda, Perancis, dan sebagainya. Istilah Civil law merupakan Istilah yang diambil dari sumber hukum sipil itu sendiri pada zaman Kaisar Justinianus yang bernama Corpus Juris Civilis. Adapun pengertian civil law yaitu suatu tradisi hukum yang berasal dari Hukum Roma yang terkodifikasi dalam Corpus Juris Civilis dan tersebar keseluruh Benua Eropa dan seluruh dunia. Sedangkan penyebutan rumpun Romawi-Jerman untuk menghormati para pengembang sistem hukum ini yang dilakukan oleh serentetan usaha Universitas-Universitas Eropa, khususnya Jerman dan Latin dari abad ke-12 M. Corpus Juris Civilis dan tersebar keseluruh Benua Eropa dan seluruh dunia. Kode sipil terbagi ke dalam dua cabang yaitu: (i) Hukum Romawi yang terkodifikasi (Kode Sipil Prancis 1804) daerah lainnya di Benua Eropa yang mengadopsinya, Quebec dan Lousiana; serta (ii) Hukum Romawi yang tidak dikodifikasi (Skotlandia dan Afrika Selatan). Hukum kode sipil sangat sistematis, terstruktur yang berdasarkan deklarasi para dewan, prinsip-prinsip umum dan sering menghindari hal-hal yang detail. Sumber hukum dalam sistem civil law adalah: (i) undang-undang (statute) yang dibuat oleh lembaga legislatif dan lembaga ini harus merespons kepentingan publik populer will yang kemudian dituangkan dalam undang-undang; (ii) regulasi yang merupakan peraturan-peraturan yang pembuatannya telah melalui power delegation dari legislatif kepada eksekutif; serta (iii) Custom adalah kebiasaan yang dipraktikkan dalam masyarakat yang tidak dituangkan dalam bentuk tertulis (non statory law). Lihat Muhammad Muslehuddin, op. cit., h. 199-202; Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum (Cet. I; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 57-77.
45) Peraturan Peralihan dalam UUD 1945 yang dimaksud Hazairin adalah pasal II Peraturan Peralihan, yaitu: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Setelah UUD 1945 diamandemen empat kali di era reformasi, maka Peraturan Peralihan tetap dipertahankan. Lihat Undang-Undang Dasar 1945, dalam Sekretariat Jenderal MPR R.I., op. cit., h. 9 dan 71.
46) Lihat Juhaya S. Praja, op. cit., h. 129-130.
47) Ichijanto, op. cit., h. 127-131.
48) Ibid., h. 131-137.
49) A. Rani Usman, op. cit., h. 60-61.
50) Zainuddin Ali, “Hukum Islam dalam Kajian Syari’ah dan Fiqh di Indonesia,” h. 17.
51) Musyrifah Sunanto, op. cit., h. 135.
52) Zainuddin Ali, “Hukum Islam dalam Kajian Syari’ah dan Fiqh di Indonesia,” h. 16.
53) Ibid., h. 17.
54) Ichtijanto, op. cit., h. 137.
55) Ibid.
56) Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan: “Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
(a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(b) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
(c) Peraturan Pemerintah;
(d) Peraturan Presiden;
(e) Peraturan Daerah.
57) Daftar peraturan daerah yang melegislasi hukum Islam secara lengkap (sampai tahun 2009), lihat Junaidi, op. cit., h. 83-89.

Pengertian, Ruang Lingkup dan Sumber-Sumber Hukum Islam

PENGERTIAN, SUMBER-SUMBER
DAN RUANG LINGKUP HUKUM ISLAM
Oleh : Hendra Umar, S.Ag

1. Pengertian Hukum Islam
Kata hukum secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu : hakama (fi•il mādī) dan yahkumu (fi•il mudāri•) yang bermakna qadā (keputusan atau ketetapan) dan fasala (pemisah).(1) Peradilan disebut al-qadā’ karena pada lembaga inilah lahir keputusan dan ketetapan hukum yang bersifat mengikat bagi orang-orang yang diberikan putusan hukum oleh hakim. Hakim disebut al-qādī karena dari mereka menetapkan hukum dan memisahkan antara kebenaran dan kesalahan, sehingga jelas perkara yang benar dan perkara yang salah demi tercapainya keadilan.
Definisi hukum secara terminologi dikemukakan oleh Syaikh al-•Uśaymin: "Apa-apa yang ditetapkan oleh seruan syari'at yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang yang dibebani syari'at) dari tuntutan atau pilihan atau peletakan." (2)
Istilah hukum Islam (al-ḥukm al-Islāmī) sebenarnya tidak dikenal dalam al-Qur'an, hadis maupun kitab-kitab klasik (kutub al-qadīmah) yang ditulis oleh ulama masa dahulu (salaf), jika dimaksudkan sebagai produk-produk hukum yang berasal dari dalil-dalil nas maupun hasil ijtihad. Hukum dalam makna ulama ushul fikih sering dimaknakan dengan lima hukum yang dibebankan (taklīf) pada manusia, yaitu: wajib, sunnah, makruh, mubah atau halal, dan haram. (3)
Istilah hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia sebagai terjemahan dari kata syariat dan fikih, sebagaimana kalangan ahli hukum Barat menyebut syariat dengan sebutan Islamic Law atau Law in Islam dan fikih dengan Islamic Jurisprudance. (4)
Pengertian syariat bersifat luas mencakup seluruh tatanan nilai dan norma dalam kehidupan Islam yang menyangkut keimanan atau akidah yang benar (al-i•tiqādiyyah), amal perbuatan manusia (al-•amaliyyah), maupun akhlak (al-akhlāqiyyah) yang menggambarkan keseluruhan ajaran Islam. (5)
Fikih merupakan penafsiran terhadap syariat, khususnya mengenai amal perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil terperinci (tafsiliyyah) dan dirumuskan dalam hukum-hukum, seperti wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Fikih sebenarnya merupakan penjabaran dari syariat secara praktis dan pragmatis.(6)
Penjabaran fikih terhadap syariat melalui istimbat (penggalian hukum) dari ijtihad (7) para fuqaha telah melahirkan nuansa hukum Islam berupa ikhtilāf (perbedaan-perbedaan pendapat) dalam mendiskursuskan suatu problem hukum yang berpuncak pada lahirnya maźhab-maźhab fikih sekitar awal abad ke-2 H. atau abad ke-8 M. antara lain :
a. Maźhab Ja•farī yang dinisbatkan pada pendirinya, yaitu al-Imām Ja•far bin Muhammad al-Baqīr bin Zainal •Abidin bin Husayn bin •Ālī bin Abī Tālib (80-148 H/699-765 M.).
b. Maźhab Zaydiyyah yang dinisbatkan pada pendirinya, yaitu al-Imām Za•id bin •Ālī Zainal •Abidin bin Husayn bin •Ālī bin Abī Tālib (80-122 H/699-736 M.)
c. Maźhab Hanāfī yang dinisbatkan pada pendirinya, al-Imām Abū Hanifah Nu•man bin Śabit bin Zufi al-Tamimi (80-150 H/699-767 M.)
d. Maźhab Malikī yang dinisbatkan pada pendirinya, al-Imām Mālik bin Anas bin Abī Amir al-Asbahānī (93-179 H/712-795 M.)
e. Maźhab Syafi•ī yang dinisbatkan pada pendirinya, al-Imām Muhammad bin Idris al-Quraysyī al-Hasyimī bin al-•Abbas bin •Uśmān bin Syafi•ī (150-204 H/769-820 M.)
f. Maźhab Hanbalī yang dinisbatkan pada pendirinya, yaitu al-Imām Abū •Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Ḥanbal bin Ḥilāl al-Syaybanī (164-241 H/780-855 M.)
g. Maźhab Zahiriyyah yang dinisbatkan pada pendirinya, yaitu al-Imām Abū Sulayman Dawūd •Ālī al-Isfahānī al-Zahirī (202-270 H).
h. Maźhab •Ibadiyyah yang dinisbatkan pada pendirinya, yaitu Abū Sya•śa al-Tabi•i Jabir bin Za•id (wafat tahun 93 H/711 M) dan •Abdullah bin •Ibad al-Tami (wafat tahun 80 H.).
i. Maźhab al-Awzā•ī yang dinisbatkan pada pendirinya, yaitu al-Imām Abū Amr •Abdurrahmān bin Muhammad al-Awzā•ī al-Dimasyqī (88-157 H.)
j. Maźhab al-Śawrī yang dinisbatkan pada pendirinya, yaitu Abū •Abdillah Sufyān bin Sa•ad al-Śawri al-Kūfī (wafat tahun 161 H.).
k. Maźhab al-Layśī yang dinisbatkan pada pendirinya, yaitu Abū al-Ḥariś al-Layśī bin Sa•ad al-Fahmī (wafat pada tahun 175 H.).
l. Maźhab al-Tabarī yang dinisbatkan pada pendirinya, yaitu Abū Ja•far Muhammad bin Jarīr al-Tabarī (244-310 H.) (8)
Para imam maźhab maupun fuqaha pendukungnya banyak berbeda pendapat dalam mendiskursuskan suatu masalah. (9) Perbedaan pendapat ini muncul dari perbedaan metodologi pengambilan hukum dan ijtihad, sudut pandang maupun perkembangan situasi dan kondisi yang berbeda di antara imam mażhab dan fuqaha. Ilmu Fikih Perbandingan sangat diperlukan dalam memahami berbagai perbedaan pendapat yang muncul di kalangan fuqaha.
2. Sumber-Sumber Hukum Islam
Produk-produk fikih lahir dari beberapa sumber hukum. Ada sumber hukum yang disepakati oleh semua ulama, ada sumber hukum yang disepakati oleh mayoritas ulama, dan ada pula sumber hukum Islam yang diperselisihkan keberadaannya oleh para fuqaha.
a. Sumber Hukum Islam yang Disepakati Ulama
Sumber hukum Islam yang disepakati para ulama ada dua, yaitu:
(1) Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan firman Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril a.s. dengan menggunakan lafaz bahasa Arab dengan makna yang benar dan menjadi hujjah dan mukjizat bagi Nabi Muhammad saw. tentang kerasulannya, menjadi undang-undang dan petunjuk bagi umat manusia, dan membacanya adalah ibadah. (10) Pengertian ini langsung memberikan gambaran bahwa al-Qur’an merupakan induk dari segala sumber hukum. (11) Barangsiapa menolak eksistensi al-Qur’an sebagai wahyu Allah swt. maka jelas kekafirannya, walaupun hanya satu ayat disebabkan semua isi al-Qur’an adalah qat•iyyah al-śubut atau pasti datangnya dari Allah swt. tanpa keraguan sedikit pun. (12)
Sekali pun al-Qur'an sebagai sumber hukum Islam pertama dan utama, tetapi memahami ayat-ayatnya perlu penafsiran yang didukung oleh penggunaan dalil-dalil lainnya. Dengan kata lain, memahami al-Qur'an, termasuk menetapkan hukum Islam berdasarkan al-Qur'an memerlukan pula dalil-dalil yang lain. Kondisi ini disebabkan Empat hal, yaitu:
(a) Banyak hukum-hukum yang ditetapkan dalam al-Qur'an masih berbentuk global, sehingga membutuhkan penjelasan dalil lain untuk memperjelas maksud dan penerapan hukum tersebut. Misalnya, perintah shalat, berzakat, menunaikan haji, dalam al-Qur'an tidak dijelaskan tentang rukun, syarat dan tata cara pelaksanaannya (kayfiyah), sehingga membutuhkan penjelasan dari dalil lain, terutama hadis sehingga bisa dilaksanakan.
(b) Makna-makna dalam ayat al-Qur'an ada yang qat˙iy al-dalālah (bisa dipahami secara pasti) (13) , namun ada pula ayat al-Qur'an yang zanniy al-dalālah (makna-maknanya masih samar) yang membutuhkan penafsiran. (14)
(c) Beberapa makna dalam al-Qur'an membutuhkan penjelasan asbāb al-nuzūl (latar belakang peristiwa diturunkannya ayat tersebut). Jika latar belakang peristiwa tersebut tidak dipahami maka kemungkinan besar akan salah memahami dan mempraktekkan maksud ayat tersebut. M (15)
(2) Hadits
Hadis menurut istilah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah saw., baik perkataannya (qawl), perbuatannya (fi•il), atau penetapannya (taqrīr). Dalam konteks ini, hadis disebut juga sunnah. (16) Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur'an yang tidak ada perselisihan di antara umat Islam tentang penerimaannya sebagai sumber hukum Islam. Hadis memiliki fungsi yang sangat penting bagi penetapan hukum pada al-Qur'an, antara lain: (17)
(a) Penguat hukum terhadap peristiwa yang telah ditetapkan dalam al-Qur'an.
(b) Pemberi keterangan terhadap ayat-ayat al-Qur'an, meliputi:
(i) Merinci ayat yang bersifat global.
(ii) Membatasi kemutlakan suatu ayat; serta
(iii) Membawa hukum baru yang tidak ditetapkan oleh al-Qur'an.
Sunnah juga masih memerlukan penelitian, penafsiran dan dalil lain jika digunakan sebagai sumber hukum Islam disebabkan beberapa hal, yaitu:
(a) Hadis tidak semuanya qat•iyyah al-śubut (pasti sumbernya dari Rasulullah saw.). Hanya sedikit sekali hadis yang mutawatir (18) yang menunjukkan pasti sumbernya dari Rasulullah saw. Ada hadis masyhūr (19) dan ahad (20) yang zanniyyah al-śubut (belum bisa dipastikan sumbernya berasal dari Rasulullah saw.) yang memerlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan tingkat kesahihan (sahīh) periwayatannya berasal dari Rasulullah saw. Dari segi tingkat kesahihan, ada hadis sahīh, (21) hadis hasan (22) dan hadis da•īf, (23) dan hadis mawdū•. (24) Hanya hadis sahīh dan hadis hasan yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam. Hadis da•īf tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum Islam, apalagi hadis mawdū• yang jelas-jelas haram menggunakannya sebagai sumber hukum Islam. Sebagian ulama, seperti Imam al-Nawāwī membolehkan menggunakan hadis da•īf untuk fadā’il •amal (menerangkan keutamaan suatu amal), targīb (mendorong manusia beramal) atau tarhīb (memberikan peringatan terhadap manusia), selama hadis tersebut belum sampai ke derajat mawdū•. (25)
(b) Beberapa makna-makna dalam hadis ada yang zanniy al-dalālah, sehingga membutuhkan penafsiran. (26)
(c) Beberapa penetapan hukum Islam dalam suatu hadis ada yang telah di-nasakh (ketentuan hukumnya telah dihapus dengan hadis lain) yang datang kemudian sebagai mansukh (penetapan hukum yang menghapuskan). Ada pula hadis yang perlu dipahami asbāb al-wurūd (latar belakang peristiwa yang menjadi penyebab lahirnya hadis tersebut). Jika hal ini tidak diketahui maka kemungkinan besar ditetapkan hukum yang sebenarnya telah dihapuskan atau ditetapkan oleh Rasulullah saw. berkaitan dengan peristiwa-peristiwa khusus. (27)
(d) Beberapa hadis secara zahir terlihat ta·arrud (bertentangan maknanya) yang perlu diselesaikan dengan menggunakan metode naskh, tawfiq atau jama·,dan tarjih. (28)
b. Sumber Hukum Islam yang Disepakati Mayoritas Ulama
Selain kedua sumber tersebut, ada pula dua sumber hukum Islam yang disepakati oleh para ulama sunni, yaitu ijmak (al-ijmā•) dan qiyas (al-qiyās). (29) Kedua sumber hukum Islam dapat dijelaskan sebagai berikut:
(1) Ijmak
Ijmak adalah kesepakatan semua kalangan mujtahid dari kalangan umat Islam pada suatu masa tertentu dari berbagai kurun waktu setelah wafatnya Rasulullah saw. tentang suatu hukum syariat dalam suatu masalah tertentu. (30)
Dalam konteks pengertian ini, sesuatu disebut ijmak minimal harus memiliki empat syarat, yaitu: (31)
(a) Ketika terjadi peristiwa hukum harus ada beberapa mujtahid.
(b) Semua mujtahid harus mengakui hukum yang mereka putuskan dengan tidak memandang negara, kebangsaan atau golongan.
(c) Kesepakatan tersebut dilahirkan oleh para mujtahid secara tegas terhadap peristiwa itu, baik melalui perkataan maupun perbuatan. Berdasarkan hal ini, ijmak dibagi dalam dua macam, yaitu:
(i) Ijmā• al-qawl, yaitu suatu kebutalan pendapat yang dikemukakan oleh para mujtahid yang lahir dalam bentuk perkataan yang jelas.
(ii) Ijmā• al-sukūtī, yaitu sesuatu yang dipandang telah menjadi kebulatan pendapat para mujtahid disebabkan pendapat seseorang atau sekelompok orang mujtahid yang diketahui oleh mujtahid lain, tetapi mujtahid lain tersebut tidak menyatakan pendapat apapun, baik persetujuan maupun penolakan.
(d) Kesepakatan tersebut merupakan kebulatan pendapat semua mujtahid.
Para fuqaha dalam menyikapi keberadaan ijmak sebagai sumber hukum Islam terbagi atas tiga bagian, yaitu: (32)
(a) Golongan yang menerima otoritas ijmak sebagai sumber hukum Islam. Imam Abū Hanifah menerima otoritas ijmak, bahkan ia tidak mau berselisih dengan pendapat yang telah disepakati oleh ulama Kufah. (33) Imam Mālik juga menerima otoritas ijmak dan menjadikan kesepakatan para ulama Madinah sebagai sumber hukum Islam, bahkan ia tidak menerima hadis ahad yang bertentangan dengan amalan ulama Madinah. (34)
(b) Golongan yang menolak otoritas ijmak sebagai sumber hukum Islam. Kaum Khawārij menolak otoritas ijmak sebagai sumber hukum Islam karena hanya menerima otoritas al-Qur'an. (35) Al-Nazzam (wafat 231 H.), Ja•far bin Harb (wafat 236 H.) dan Ja•far bin Mubasysyir (wafat 234 H.) dari golongan Mu•tazilah juga menolak otoritas ijmak karena berpendapat bahwa umat Islam bisa saja bersepakat dalam kesalahan. (36)
(c) Golongan yang menerima sebagian ijmak dan menolak sebagian yang lain. Imam al-Syāfi•ī dan Imam Ahmad bin Hanbal meneguhkan otoritas ijmak dengan syarat bahwa ijmak tersebut benar-benar merupakan kesepakatan seluruh ulama tanpa ditemukan seorang pun yang membantahnya, sehingga keduanya menolak ijmak sukūtī (37) . Ulama Syi•ah hanya menerima ijmak yang disetujui oleh kalangan keluarga Nabi Saw. (ahl al-bayt) karena berpandangan bahwa ijmak adalah sarana untuk menyingkap pendapat para imam dari kalangan keluarga Nabi saw. (38) Sedangkan Abū Dawūd al-Zahirī dan Ibn Hazm dari Mażhab Zahiri hanya menerima ijmak yang disepakati oleh generasi sahabat. (39)
(2) Qiyas
Qiyas adalah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang belum ada ketentuan hukumnya dengan peristuwa lain yang sudah ada ketentuan hukumnya karena adanya segi-segi persamaan •illah di antara keduanya. (40) Qiyas seperti analogi hukum ketika menghadapi suatu peristiwa hukum yang baru dan tidak ada ketentuannya dalam al-nas (al-Qur'an dan hadis) dengan menjadikan hukum pada peristiwa hukum yang sudah ada ketentuannya dalam al-nas sebagai panduan, lalu menerapkan hukum tersebut kepada peristiwa yang baru karena adanya persamaan •illah (41) . Berdasarkan hal ini, muncul qa•idah usūl (kaidah hukum Islam):
إذَا وُجِدَتْ الْعِلَّةُ وُجِدَ الْمَعْلُولُ
Artinya: “Apabila wujud suatu •illah maka wujud pula al-ma•lūl (hukum-hukum yang menyertai •illah”. (42)
Qiyas sebagai sumber hukum Islam diterapkan dengan memenuhi empat rukun, yaitu: (43)
(a) Al-Asl, yaitu peristiwa yang telah sudah ada ketentuan hukumnya dalam al-nas yang dijadikan patokan mengqiyaskan hukum suatu masalah. al-asl disebut juga al-maqīs •alayh atau al-mahmūl •alayh. Syarat-syarat al-asl, yaitu:
(i) Hukum yang terdapat pada al-asl ditetapkan oleh al-Qur'an dan hadis, misalnya hukum haramnya khamar yang ditetapkan oleh Q.S. al-Mā’idah (5): 90. Jumhūr al-•ulama (kebanyakan ulama) menerima al-asl yang ditetapkan berdasarkan ijmak, namun ditolak oleh sebagian ulama lainnya.
(ii) Hukum yang terdapat pada al-asl adalah ma•qūl al-ma•na (dapat diselami akal) untuk menemukan •illah, sehingga memungkinkan untuk dilakukan qiyas pada peristiwa hukum yang belum ditentukan hukumnya dalam al-nas. Misalnya diharamkannya khamar setelah diselami oleh akal •illah-nya karena memabukkan.
(b) Al-Far•u, yaitu suatu peristiwa hukum yang baru yang tidak memiliki ketentuan hukumnya dalam al-nas yang memerlukan dasar penetapan hukum. Al-Far•u disebut pula al-maqīs dan al-mahmūl. Syarat al-far•u, yaitu:
(i) Al-Far•u belum memiliki penetapan hukum dari al-nas maupun ijmak.
(ii) Antara al-far•u dan al-asl harus memiliki kesamaan •illah. Misalnya nabiż (minuman keras yang bahannya bukan berasal dari anggur) yang juga memabukkan, sehingga bisa disamakan dengan khamar.
(c) Hukmu al-asl, yaitu hukum syar’i yang telah ditetapkan pada al-asl, sehingga hukum tersebut bisa pula ditetapkan pada al-far•u. Misalnya, hukum haram pada khamar bisa ditetapkan pada nabiż.
(d) •Illah, yaitu kesesuaian sifat yang terdapat pada hukum al-asl yang sama terdapat pada peristiwa baru atau al-far•u. Misalnya •illah memabukkan sebagai dasar penetapan keharaman khamar, sehingga makanan atau minuman apa pun yang memiliki sifat memabukkan seperti memabukkannya khamar dapat diqiyaskan dengan khamar, sehingga dihukumkan haram seperti nabiż, narkotika dan zat adiktif (NAPZA). Syarat-syarat •illah, yaitu:
(i) Sifat yang dijadikan •illah tampak jelas dan kemungkinan besar diketahui ada atau tidak adanya •illah tersebut. Misalnya khamar jelas diketahui sifat utamanya adalah memabukkan. Sekali pun suatu minuman dibuat dengan perasan anggur, tetapi tidak memabukkan maka tidak dapat disebut dengan khamar.
(ii) Sifat yang dijadikan •illah ada pada peristiwa, benda atau perkara lain, tidak terbatas hanya pada al-asl. Misalnya, sifat memabukkan tidak hanya terdapat pada khamar, namun terdapat pula pada nabiż, narkotika dan zat adiktif. Seandainya sifat memabukkan hanya terdapat pada khamar, maka ia tidak bisa menjadi •illah.
(iii) Sifat yang dijadikan •illah yang ada pada peristiwa merupakan sifat yang tepat dan memiliki batasan yang jelas. Misalnya, haramnya khamar disebabkan sifat yang jelas yaitu memabukkan yang ditandai oleh si peminum khamar akan kehilangan atau tertutup akalnya ketika meminum khamar tersebut. Tertutupnya akal ini merupakan sifat dengan batasan yang jelas yang bisa dikenali oleh panca indera.
Kebanyakan fuqaha menerima qiyas sebagai sumber hukum Islam. Hanya fuqaha Syi•ah al-Imāmiyah, al-Nazzam dari kalangan Mu•tazilah, dan Abū Dawūd al-Zahirī yang menolak keberadaan qiyas sebagai sumber hukum Islam. (44)
c. Sumber Hukum Islam yang Diperselisihkan oleh Para Ulama
Di samping itu pula, ada beberapa sumber hukum Islam yang diperselisihkan keberadaannya oleh para ulama, yaitu:
a. Istihsān
Istihsān adalah berpindahnya seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum kepada hukum yang lain yang berlawanan dengannya karena ada dalil yang dipandang lebih kuat, sehingga mendorong untuk meninggalkan hukum yang pertama. (45) Istihsān juga sering didefinisikan berpaling dari qiyās al-jallī menuju pada qiyās al-khafī atau berpaling dari hukum kullī (hukum yang asas) menuju pada istiśnā’ī (hukum pengecualian) karena ada alasan kuat untuk melakukan hal tersebut. (46)
Istihsān banyak digunakan oleh Imam Abū Hanifah maupun fuqaha yang mengikutinya, terutama apabila penggunaan qiyas akan memunculkan kejanggalan hukum dan ketidakadilan. (47) Imam Mālik dan fuqaha yang mengikutinya juga menggunakan istihsān dalam konteks berpaling dari qiyas menuju pada maslahah al-mursalah apabila suatu peristiwa hukum dengan memenangkan kemaslahatan lebih mendatangkan keadilan dari pada berpegang pada qiyas atau hukum kullī. (48) Imām al-Syāfi•ī menolak istihsān sebagai sumber hukum Islam karena ia memandang bahwa istihsān meninggalkan dalil yang lebih kuat menuju pada dalil yang lebih lemah, seperti meninggalkan qiyas yang semestinya harus didahulukan sebagai sumber hukum Islam dari pada maslahah al-mursalah. Imam al-Syāfi•ī secara khusus membahas masalah istihsān dalam kitabnya al-Risālah yang dipandangnya bukan jenis dari qiyas, bahkan cenderung membuat ketentuan hukum Islam berdasarkan hawa nafsu. (4(0 Sedangkan Ibn Hazm dari mażhab Zahirī berpendapat sama seperti Imām al-Syāfi•(50)

b. Maslahah al-Mursalah
Maslahah al-mursalah adalah penetapan hukum berdasarkan maslahat atau kepentingan umum terhadap suatu permasalahan yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam syara’, baik secara umum maupun yang khusus. (51) Penyebutan al-mursalah yang berarti “terlepas” untuk menegaskan bahwa maslahat tersebut benar-benar tidak terdapat petunjuk di dalam al-nas untuk membedakan dari maslahat yang disebutkan dalam al-nas, baik secara tekstual (maslahah al-mansūsah) atau pun secara kontekstual/berdasarkan penalaran terhadap suatu al-nas (maslahah al-mustanbata), juga maslahat yang secara jelas ditolak oleh syariat Islam (maslahah al-mulgah). (52)
Suatu maslahah al-mursalah dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam apabila minimal memenuhi tiga syarat, yaitu:
(1) Maslahat tersebut adalah maslahat hakiki yang benar-benar mendatangkan kebaikan serta menolak kemudaratan.
(2) Maslahat tersebut merupakan maslahat yang terkait dengan kepentingan umum, bukan maslahat perorangan.
(3) Maslahat tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang ditetapkan oleh al-nas maupun ijmak. (53)
Imam Mālik dan Imam Ahmad bin Hanbal menjadikan maslahah al-mursalah sebagai salah satu sumber hukum Islam yang berdiri sendiri, bahkan maslahah al-mursalah dapat dijadikan sebagai pengkhususan (takhsīs) terhadap al-Qur'an. (54) Fuqaha Mażhab Syi•ah Zaydiyyah juga menggunakan maslahah al-mursalah sebagai sumber hukum Islam selama tidak ada ketentuannya dalam al-nas yang mereka pandang sebagai salah satu metode untuk menemukan •illah pada qiyas. (55) Imam Najamuddīn al-Tūfī (657-716 H/1259-1318 M.) bahkan menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil utama, sehingga apabila ada al-nas atau ijmak bertentangan dengan maslahah al-mursalah, maka al-nas atau ijmak tersebut harus di-takhsīs atau al-tabyīn (diberikan penjelasan) sesuai dengan maslahah al-mursalah tersebut. (56) Fuqaha lainnya menolak menggunakan maslahah al-mursalah, apalagi mendahulukan maslahah al-mursalah dari al-nas dan ijmak. Imam al-Gazālī (450-505 H/1059-1111 M.) dari kalangan Mażhab Syāfi•īyyah menolak menjadikan maslahah al-mursalah sebagai sumber hukum Islam karena disamakan olehnya dengan istihsan yang ditolak oleh Imam al-Syāfi•ī karena hanya maslahah yang memiliki dukungan dari al-nas saja yang boleh diterima sebagai sumber hukum Islam. (57)
c. Istishāb
Istishāb adalah menetapkan hukum terhadap suatu peristiwa sebagaimana keadaan sebelumnya, sehingga ditemukan dalil yang merubah keadaan tersebut atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau pada suatu peristiwa sehingga ditemukan dalil lain yang merubah ketetapan hukum tersebut. (58) Istishāb tidak bermaksud menetapkan hukum yang baru, tetapi hanya melanjutkan hukum yang telah ada sebelumnya, sehingga ditemukan dalil kuat yang dapat merubah ketentuan hukum yang lama tersebut. (59) Hal ini dirumuskan dalam qa•idah al-usūl:
الأصل بقاء ما كان على ما كان حتى يثبت ما يغيره
Artinya: “Pada asalnya sesuatu itu tetap pada keadaan semula, sehingga terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.” (60)

Imam Mālik, Imam Syāfi•ī, Imam Ahmad, fuqaha Mażhab Ja•fariyyah dan fuqaha Mażhab Zaydiyyah dari golongan Syi•ah menggunakan istishāb sebagai sumber hukum Islam. (61) Sedangkan fuqaha Mażhab Hanafiyyah memandang tidak cukup menggunakan istishāb sebagai sumber hukum Islam, sehingga memerlukan dalil lain untuk mendukung penetapan hukum yang lama terhadap suatu peristiwa. (62)
d. Al-•Urf
Al-•Urf adalah kebiasaan atau adat-istiadat yang dipraktekkan oleh suatu masyarakat secara terus-menerus, baik perkataan, perbuatan, maupun penolakan untuk tidak mengerjakan sesuatu. Al-•Urf dinamakan juga al-•ādah. (63) Al-•Urf berbeda dengan ijmak, sekali pun keduanya merupakan konvensi dalam mempraktekkan atau menolak mempraktekkan sesuatu. Al-•Urf berorientasi pada kebiasaan masyarakat suatu daerah, sehingga antara satu daerah dengan daerah lain berbeda kebiasannya. Sedangkan ijmak berorientasi pada kesepakatan fuqaha lintas daerah, wilayah, bahkan negara.
Al-•Urf dalam pandangan sebagian fuqaha merupakan sumber hukum Islam sehingga dirumuskan qa•idah al-usūl:
الْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
Artinya: “Adat istiadat itu menjadi hukum”.(64)
Ada tiga syarat menjadikan al-•urf sebagai sumber hukum Islam, yaitu: (65)
(1) Al-•Urf tidak bertentangan dengan al-nas yang qat•ī. Berdasarkan hal ini, para fuqaha membagi al-•urf menjadi dua macam, yaitu: (66)
(a) Al-•Urf al-sahīh, yaitu al-•urf yang tidak bertentangan dengan al-nas, tidak menghalalkan yang haram atau tidak membatalkan sesuatu yang diwajibkan hukum Islam.
(b) Al-•Urf al-fasid, yaitu al-•urf yang bertentangan dengan al-nas, menghalalkan sesuatu yang haram atau membatalkan sesuatu yang diwajibkan hukum Islam.
(2) Al-•Urf harus berlaku umum pada semua peristiwa atau sudah menjadi kebiasaan umum yang dipraktekkan oleh masyarakat, sehingga dirumuskan qa•idah al-usūl:
إنَّمَا تُعْتَبَرُ الْعَادَةُ إذَا اطَّرَدَتْ
Artinya: “Sesungguhnya adat-istiadat yang dianggap (sebagai dasar penetapan hukum) apabila menjadi adat yang terus-menerus (dipraktekkan masyarakat). (67)

(3) Al-•Urf harus berlaku selamanya berdasarkan adat-istiadat yang sudah dipraktekkan sejak lama, bukan adat-istiadat yang dilakukan pada masa kini atau masa yang akan datang.
Imam Abū Hanifah dan Imam Mālik menggunakan al-•urf sebagai sumber hukum Islam apabila tidak ditemukan al-nas yang mengatur masalah yang akan diputuskan hukumnya, sedangkan Imam al-Syafi•ī tidak menggunakan al-•urf sebagai sumber hukum Islam kecuali ditemukan dukungan al-nas terhadap al-•urf tersebut. Namun Ibn al-Hajar dari Mażhab al-Syafi•iyyah berpendapat sama seperti Imam Abū Hanifah dan Imam Mālik. (68)
e. Sadd al-Żarā’i•
Sadd al-żarā’i• adalah menetapkan hukum suatu perkara dengan suatu hukum pada perkara yang dituju. (69) Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah menegaskan bahwa semua tujuan hukum tidak akan tercapai kecuali dengan sebab-sebab dan sarana (wasā’il) yang membawa tujuan tersebut, sehingga semua sebab dan sarana tersebut harus mengikuti tujuan hukumnya. Hal ini menurutnya telah menjadi ketentuan dari syariat Islam. Jika Allah Swt. telah mengharamkan sesuatu maka Allah Swt. pasti mengharamkan sarana-sarana untuk mencapai sesuatu yang diharamkan tersebut. (70)
Penggunaan sadd al-żarā’i• sebagai sumber hukum Islam harus memperhatikan tiga hal, yaitu: (71)
(1) Maqāsid (tujuan). Jika maqāsid atau tujuannya dilarang, maka hukum wasā’il atau semua sarana untuk mencapai tujuan tersebut dilarang, sebagaimana dirumuskan qa•idah al-usūl:
مَا حُرِّمَ اسْتِعْمَالُهُ حُرِّمَ اتِّخَاذُهُ
Artinya: “Apa yang haram digunakan haram pula didapatkannya” (72).

Hal ini menunjukkan bahwa hukum wasā’il sangat tergantung pada maqāsid.
(2) Niat atau motif yang mendorong orang melakukan sesuatu. Jika niatnya mencapai yang haram, maka hukum wasā’il-nya menjadi haram. Sebaliknya pula, Jika niatnya mencapai yang halal, maka hukum wasā’il-nya menjadi halal. Ditegaskan dalam qa•idah al-usūl:
الْأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا فِيهَا
Artinya: “Segala sesuatu urusan tergantung dari maksud-maksudnya”. (73)

(3) Akibat dari suatu perbuatan. Jika suatu perbuatan-perbuatan menghasilkan suatu akibat hukum yang haram, maka perbuatan-perbuatan tersebut menjadi wasā’il. Qa•idah al-usūl menegaskan:
مَا حُرِّمَ أَخْذُهُ حُرِّمَ إعْطَاؤُهُ

Artinya: “Apa yang haram diambil, haram pula diberikan” . (74)

Terjadi ikhtilāf di kalangan fuqaha tentang menjadikan sadd al-żarā’i• sebagai sumber hukum Islam. Fuqaha Mażhab Mālikiyyah dan fuqaha Mażhab Hanabilah sangat berpegang teguh dalam menggunakan sadd al-żarā’i•. Imam al-Syāfi•ī dan Imam Abū Hanifah sedikit sekali menggunakan sadd al-żarā’i• sebagai sumber penetapan hukum Islam. Adapun fuqaha Mażhab Zāhiriyyah menolak menggunakan sadd al-żarā’i• dengan alasan sangat berpotensi menjatuhkan hukuman haram pada suatu perbuatan yang sebenarnya mubah hanya karena prinsip kehati-hatian (ihtiyāt). (75)
f. Mażhab al-Sahābī
Mażhab al-sahābī adalah pendapat maupun penetapan hukum para sahabat Rasulullah saw. tentang suatu peristiwa hukum, sehingga disebut pula qawl al-Sahābī. (76) Mażhab al-sahābī berbeda dengan ijmak dari para sahabat atau pendapat salah seorang sahabat yang tidak diketahui ada sahabat lain yang menentangnya yang dapat disebut ijmā۠ al-sukūtī yang dijadikan sumber hukum Islam oleh hampir semua fuqaha. mażhab al-sahābī merupakan pendapat hukum (fatwa) salah seorang atau beberapa orang sahabat, namun ada sahabat lain yang tidak sependapat dengan pendapat hukum tersebut. (77)
Para fuqaha berbeda pendapat dalam menjadikan mażhab al-sahābī sebagai sumber hukum Islam. Kebanyakan ulama memandang bahwa mażhab al-sahābī dapat dijadikan sumber hukum Islam. Imam Mālik dan Imam Ahmad bin Hanbal menjadikan mażhab al-sahābī sebagai sumber hukum Islam di bawah ijmak. Imam al-Syāfi•ī dan Imam Abū Hanifah mengambil mażhab al-sahābī sebagai sumber hukum Islam yang dipandang keduanya lebih dekat pada kebenaran.(78) Sedangkan Imam al-Gazālī dan Imam al-Syawkānī tidak memandang mażhab al-sahābī sebagai sumber hukum Islam dengan alasan bahwa para sahabat tidak ma•sūm (terlepas dari kesalahan) sehingga bisa saja pendapat mereka salah. (79)
e. Syara•a Man Qablanā
Syara•a man qablanā (syariat umat-umat terdahulu sebelum Islam) adalah hukum-hukum Allah swt. yang disyariatkan kepada para nabi dan rasul-Nya sebelum diutusnya Rasulullah saw. yang diberitakan secara jelas dalam al-Qur’an dan hadis dan tidak terdapat keterangan dari al-Qur’an dan hadis bahwa hukum-hukum tersebut telah dihapuskan (dinasakh) oleh syariat Islam. (80)
Syara•a man qablanā dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam apabila memenuhi dua syarat, yaitu: (81)
(1) Syara•a man qablanā diberitakan atau dijelaskan dalam al-Qur'an atau hadis yang al-nas. Syara•a man qablanā yang tidak diberitakan atau dijelaskan oleh al-nas tidak boleh dipercaya sebagai hukum yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. karena kemungkinan besar telah dirubah-rubah oleh umat yang diturunkan syariat tersebut, sedangkan menetapkan hukum Islam harus berdasarkan dalil yang kuat.
(2) Syara•a man qablanā dikuatkan keberadaannya untuk diamalkan oleh umat Islam berdasarkan al-nas atau tidak ditemukan al-nas yang telah menghapus diamalkannya syariat tersebut.
Para fuqaha sepakat untuk menjadikan syara•a man qablanā yang terdapat petunjuk dari al-nas untuk diamalkan umat Islam sebagai sumber hukum, seperti haji dan berkhitan dari syariat Nabi Ibrahim a.s., puasa dari syariat para nabi-nabi sebelumnya, dan sebagainya, tentu dengan petunjuk dari al-nas mengenai cara mengamalkannya. Mereka juga sepakat untuk menolak dan tidak menjadikan syara•a man qablanā yang jelas-jelas telah dihapus oleh syariat Islam berdasarkan al-nas. Namun mereka berbeda pendapat tentang menjadikan syara•a man qablanā sebagai sumber hukum Islam, jika tidak ditemukan al-nas yang telah menghapuskan syariat tersebut.
Kebanyakan fuqaha Mażhab Hanafiyyah, sebagian fuqaha Mażhab Mālikiyyyah, dan Imam al-Syāfi•ī menjadikan syara•a man qablanā sebagai sumber hukum Islam jika diberitakan oleh al-nas dan tidak ditemukan penghapusan terhadap syariat tersebut oleh al-nas. Sedangkan sebagian fuqaha lainnya, seperti ulama golongan Mu•tazilah dan Imam Ahmad (dalam salah satu riwayat) menolak menggunakan syara•a man qablanā karena tidak wajib diamalkan, kecuali apabila terdapat al-nas yang memerintahkan untuk mengamalkan syara•a man qablanā tersebut. (82)
3. Ruang Lingkup Hukum Islam
Ruang lingkup hukum Islam sangat luas meliputi semua aspek amal perbuatan manusia. Zainuddin Ali membagi ruang lingkup hukum Islam menjadi enam ruang lingkup hukum Islam, yaitu: (83)
1) Ibadah, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan langsung dengan Allah swt. (ritual) yang terdiri dari:
(1) Rukun Islam, yaitu: mengucapkan syahadatain, mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat, melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji bila memiliki kemampuan (mampu fisik dan non fisik).
(2) Ibadah yang berhubungan dengan rukun Islam dan ibadah lainnya, yaitu:
a. Badani (bersifat phisik), yaitu: bersuci: wudhu, mandi, tayamum, peraturan untuk menghilangkan najis, peraturan air, istinja, dan lain-lain, adzan, qamat, i’tikaf, do’a, shalawat, umrah, tasbih, istighfar, khitan, pengurusan jenazah, dan lain-lain.
b. Mali (bersifat harta): qurban, aqiqah, fidyah, dan lain-lain.
2) Mu’amalah, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lainnya dalam hal tukar-menukar harta (termasuk jual beli), di antaranya: dagang, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, kerjasama dagang, simpanan barang uang atau barang, penemuan, pengupahan, rampasan perang, utang-piutang, pungutan, warisan, wasiat, nafkah, barang titipan, pesanan, dan lain-lain.
3) Jinayah, yaitu peraturan yang menyangkut pidana, di antaranya qishash, diyat, kifarat, pembunuhan, zina, minuman keras, murtad, khianat dalam berjuang, kesaksian, dan lain-lain.
4) Siyasah, yaitu yang menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan, di antaranya: persaudaraan, musyawarah, keadilan, tolong-menolong, kebebasan, toleransi, tanggung jawab sosial, kepemimpinan, pemerintahan, dan lain-lain.
5) Akhlak, yaitu yang mengatur sikap hidup pribadi, di antaranya: syukur, sabar, rendah hati, pemaaf, tawakkal, konsekuen, berani, berbuat baik kepada ayah dan ibu, dan lain-lain.
6) Peraturan-peraturan lainnya di antaranya: makanan, minuman, sembelihan, berburu, nazar, pengentasan kemiskinan, pemeliharaan anak yatim, mesjid, da’wah, perang dan lain-lain.

Kategori ruang lingkup hukum Islam yang dirumuskan oleh Zainuddin Ali terlihat jelas lebih berdimensi syariat karena memasukkan akhlak sebagai bagian dari ruang lingkup hukum Islam. Namun jika ruang lingkup hukum Islam ini ditinjau dari dimensi fikih, maka akhlak tidak dapat dikategorikan sebagai bagian dari ruang lingkup fikih. Pernyataan penulis ini dilandasi oleh tiga argumen, yaitu:
a. Hukum Islam dalam dimensi fikih lebih bersifat lahiriyah atau eksoteris, seperti pembahasan bersuci dari najis dan hadaś, kaifiyah shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya yang merupakan perbuatan jasmaniah. Sedangkan akhlak lebih bersifat batiniyah atau esoteris, seperti ikhlas dalam beramal, tawakkal, pemaaf, dan sebagainya. Hal ini menjadikan ruang lingkup pembahasan fikih sangat formal legalistis yang dapat terbedakan dengan akhlak yang lebih bersifat spiritual esensialistis. Misalnya, apabila seseorang shalat telah memenuhi rukun dan syarat sahnya shalat, maka shalatnya sah dalam pandangan fikih. Fikih tidak memasukkan keikhlasan sebagai bagian dari rukun atau syarat sahnya shalat. Namun jika ditinjau dari segi akhlak, maka orang yang tidak mengerjakan shalat dengan ikhlas tentu shalatnya tidak diterima oleh Allah Swt.
b. Hukum Islam dalam dimensi fikih merupakan standar minimal seseorang dalam mengerjakan syariat Islam, sedangkan akhlak merupakan standar seseorang mencapai ketinggian martabat beramal shaleh dalam syariat Islam. Misalnya, fikih hanya mewajibkan zakat dan memandang infak dan sedekah merupakan sunnah sebagaimana telah dinyatakan ijmak oleh para ulama. (84) Namun dalam pandangan akhlak, seseorang yang tidak berinfak atau bersedekah tidak akan pernah mencapai kebaikan sempurna (Q.S. Alī •Imrān (3): 92), bahkan orang yang menolak bersedekah atau menghardik kepada anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin adalah pendusta-pendusta agama (Q.S. al-Ma•ūn (107): 1-3).
c. Berdasarkan dua argumen yang telah disebutkan sebelumnya, maka hukum Islam dalam dimensi fikih lebih sempit dari pada akhlak. Oleh karena itu, para fuqaha dalam menulis kitab-kitab fikih tidak memasukkan pembahasan akhlak sebagai bab tersendiri dalam kitab-kitab mereka, walaupun pembahasan mengenai akhlak tidak ditinggalkan sepenuhnya ketika membahas fikih. Hal inilah yang menjadikan para ulama dan cendekiawan muslim mengkategorikan kitab-kitab yang lebih banyak porsinya membahas masalah akhlak sebagai kitab akhlak, adab atau tasawuf walaupun kitab tersebut juga membahas masalah fikih, seperti Ihyā •Ulum al-Dīn dan Bidāyah wa al-Hidāyah keduanya karya Imām al-Gazālī.
Perbedaan antara fikih dan akhlak ini hanyalah perbedaan dalam ruang lingkup pembahasan ilmiyah, bukan amaliyah. Dengan kata lain, pemisahan antara fikih dan akhlak tersebut hanyalah merupakan bagian dari kategorisasi disiplin ilmu-ilmu dalam Islam (•ulūm al-dīn, dirāsah al-Islamiyyah atau islamic studies), bukan dalam amalan Islam (•amaliyyah). Seorang muslim dalam melaksanakan syariat Islam secara konsisten harus mengamalkan fikih dan akhlak untuk mencapai kesempurnaan dalam beragama dan meraih ketakwaan.
--------------------
Catatan Kaki

1) (1) Louis Ma’lūf, al-Munjīd fī al-lugah wa al-A•lām (Beirut: Dār al-Masyriq, 1986), h. 146.
2) (2) Syaikh Muhammad bi Sālih al-•Uśaymin, al-Usūl min •Ilm al-Usūl, diterjemahkan oleh Abu Shilah dan Ummu Shilah, Prinsip Ilmu Ushul Fiqh (t.t.: Tholib Worldpress, 2007), h. 6. Definisi yang hampir sama juga dikemukakan oleh Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, •Ilm Usūl al-Fiqh (Cet. XII; al-Qāhirah : t.t, 1398 H/1978 M), h. 100.
3) (3) Lihat ibid., h. 105-116. Lihat pula T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Jilid II (Cet. VI; Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h. 136-191.
4) (4) Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Cet. I; Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1995), h. 3.
5) (5) Kata syariat (syarī•ah) secara etimologi berasal dari kata syara•a atau al-syay’a yang berarti menerangkan atau menjelaskan sesuatu; juga berasal dari kata syir•a yang bermakna suatu tempat yang dijadikan sarana mengambil air secara langsung sehingga yang mengambilnya tidak membutuhkan bantuan orang lain. Secara terminologi, para ulama merumuskan pengertian syariat sama dengan agama Islam (din al-Islām), seperti definsi yang dikemukakan oleh al-Tahanāwī : “syariat adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah untuk hamba-hamba-Nya yang didatangkan oleh seorang nabi, baik berkaitan dengan cara mengerjakan suatu amalan yang disebut far•iyyah •amaliyyah yang diwacanakan dengan ilmu fikih maupun berkaitan dengan keyakinan (i•tiqādiyyah) yang diwacanakan dengan ilmu kalam atau. Secara syar’i dinamakan dengan agama (dīn atau millah). Lihat Abī al-Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu•jam Maqayis al-Lugah, Juz III (t.t.: Dār al-Fikr li al-Taba•ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi•, 1979), h. 262. Lihat T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Jilid I (Cet. VI; Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 31.
6) Fikih (fiqh) secara etimologi berasal dari kata faqaha yang bermakna “maksud atas sesuatu” dan “ilmu pengetahuan.” Secara terminologi, fikih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengenai amal perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci (tafsiliyyah) atau kumpulan hukum-hukum syara’ mengenai amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci. Lihat Abī al-Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariya, op. cit., Juz IV, h. 442. Lihat pula Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit, h. 11.
7) Kata ijtihad secara etimologi berasal dari kata jāhada (fi•il mādī), yujāhidu (fi•il mudāri•) dan mujāhadah (masdar) yang bermakna kesungguhan, kepayahan atau mengerahkan segala tenaga untuk mencapai suatu tujuan. Misalnya, ungkapan ijtahada fī haml hajar al-rakhā (dia bersungguh-sungguh mencurahkan segala tenaga untuk menangkat batu penggilingan itu). Kata ijtihad tidak bisa digunakan untuk ungkapan ijtahada fī haml khardalah (dia mencurahkan segala tenaga untuk mengangkat sebuah biji sawi). Pengertian ijtihad secara terminologi dapat ditinjau dari tiga dimensi, yaitu definisi yang luas, definisi yang sempit dan definisi paling sempit. Definisi yang luas dikemukakan oleh Imam al-Syawkānī yang mengemukakan ijtihad sebagai pencurahan segenap kemampuan daya intelektual dan spiritual dalam menghadapi suatu kegiatan atau permasalahan yang sukar. Pengarahan kemampuan tersebut meliputi berbagai lapangan ilmu pengetahuan, seperti •ilm al-kalām, filsafat, tasawuf, fikih dan sebagainya. Ia menyebut ijtihad tersebut sebagai ijtihād fī tasil al-hukm al-•ilm (ijtihad mencapai ketentuan ilmu pengetahuan). Ibn Taymiyah bahkan memandang bahwa upaya sungguh-sungguh kaum sufi dalam kepatuhan kepada Allah Swt. merupakan bentuk ijtihad, sedangkan para sufi merupakan mujtahid-mujtahid pada bidang tersebut. Definisi yang sempit dikemukakan oleh para ulama ushul, yaitu mengerahkan segenap kemampuan dalam mendapatkan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis dengan menggunakan metode istinbat. Definisi sempit ini menunjukkan bahwa ijtihad hanya dibatasi dalam masalah-masalah hukum syara’ yang bersifat praktis, khususnya masalah fikih, bukan dalam bidang lain. Hanya para fuqaha yang memenuhi syarat yang disebut sebagai para mujtahid karena tugas mereka adalah merumuskan hukum-hukum yang bersifat praktis tersebut dari dalil-dalil yang absah sebagai landasan hukum Islam sehingga dapat diamalkan oleh umat Islam. Sedangkan definisi yang paling sempit tentang ijtihad, yaitu mengerahkan segenap kemampuan dalam mendapatkan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis untuk mendapatkan suatu hukum Islam yang bersifat zannī. Dalam konteks ini, ijtihad dalam bidang hukum Islam hanya diperkenankan dalam masalah-masalah yang bersifat zanniyah atau belum jelas ketentuannya dalam nas sehingga masih memerlukan takwil atau penafsiran untuk memahami maksud nas dan merumuskan hukum-hukumnya berdasarkan penakwilan atau penafsiran tersebut. Sedangkan hal-hal yang bersifat qat•iyah atau sudah jelas ketentuannya dalam nas bukan wilayah ijtihad karena tidak perlu lagi dicari takwil maupun tafsirannya lagi. Lihat Muhammad bin ·Alī bin Muhammad al-Syawkani, Irsyād al-Fuhul Ilā Tahqiq al-Haq Min ·Ilmi al-Usul (Cet. I; Mesir : Mutafa Bāb al-Halabi, 1356 H/1937 M.), h. 250; Syaikh al-Islām Abū Barakāt •Abd al-Salām bin •Abdillah bin Abī al-Qāsim bin al-Khudar bin Muhammad bin •Alī bin Taymiyah al-Hārānī, Majmū• al-Fatawā, Juz II (Beirut : Dār al-•Arabiyyah, 1398 H.), h. 18; dan ·Abd al-Wahāb Khallāf, loc. cit.
8) Mengenai muncul dan berkembangnya maźhab-maźhab fikih dalam sejarah hukum Islam, lihat T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Cet. VI; Jakarta : Bulan Bintang, 1989), h. 96-133. Lihat pula Rachmat Djatnika, “Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam,” dalam Juhaya S. Pradja, Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukannya (Cet. I; Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991), h. 8-15.
9) Misalnya, Mawlana Muhammad Zakariyya al-Kandahlāwī mengatakan bahwa ia telah menghitung berbedaan pendapat ulama empat maźhab sunni (Maźhab Hanāfī, Malikī, Syafi•ī dan Hanbalī ) dalam masalah tata cara mengerjakan shalat ada 200 perbedaan pendapat. Lihat Muhammad Zakariyya al-Kandahlāwī, Fadā’il al-Tablig, diterjemahkan oleh A. Abdurrahman Ahmad, Ali Makhfudzi dan Harun Ar-Rasyid dengan judul Fadhilah Tablig, dalam Himpunan Fadhilah Amal (Cet. I; Yogyakarta : Al-Shaff, 2006), h. 407.
10) Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 23.
11) Lihat Q.S. Yūnus (10): 37; Q.S. al-Jāśiyah (45): 18.
12) Lihat Q.S. Hūd (11): 17; Q.S. al-Jāśiyah (45): 8; Q.S. al-An•ām (6): 157; Q.S. al-Mā’idah (5): 49. MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam putusannya tanggal 25 Syawal 1428 H/6 Nopember 2007 M. Tentang Pedoman Identifikasi Aliran Sesat menegaskan bahwa salah satu kriteria untuk menyatakan suatu aliran sesat adalah mengingkari otentitas dan atau kebenaran isi al-Qur’an. Lihat Majelis Ulama Indonesia, Pedoman Identifikasi Aliran Sesat (t.t.: t.p, 2007), h. 4.
13) Contoh ayat qat˙iy al-dalālah adalah Q.S. al-Nūr (24): 2 :
• •  •     . . .
Terjemahnya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, . . .” Kata mi’ata jaldah (100) kali dera merupakan makna yang bersifat pasti. Tidak bisa diartikan di bawah atau di atas 100 kali dera.

14) Contoh ayat zanniy al-dalālah adalah Q.S. al-Baqarah (2): 228 :
     . . .
Terjemahnya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali qurū' . . .” Kata qurū’ayat ini memiliki arti ganda, dapat berarti suci dari haid. Maka śalāśata qurū’ dapat berarti tiga kali suci dan dapat pula berarti tiga kali haid. Ketidakjelasan ini, menyebabkan al-dalālah ayat tersebut digolongkan sebagai zanniy.

15) Contoh •Usmān bin Maz’ūn dan •Amr bin Ma•addī Kariba salah menafsirkan Q.S. al-Mā’idah (5): 93:
           • •    • •  • •    
Terjemahnya: “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh Karena memakan makanan yang Telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, Kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, Kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. Berdasarkan ayat ini, mereka membolehkan meminum khamar. Imam al-Suyūtī berkomentar bahwa sekiranya mereka mengetahui asbāb al-nuzūl, tentu mereka tidak berkata demikian, sebab Imam Ahmad dan Imam al-Nasā’ī meriwayatkan latar belakang peristiwa turunnya ayat ini adalah orang-orang yang ketika khamar diharamkan mempertanyakan nasib kaum muslimin yang terbunuh di jalan Allah sedang mereka dahulunya meminum khamar. Imam Jalāluddīn al-Suyūtī, al-Itqān fī •Ulūm al-Qur’ān, Juz I (t.t.: Dār al-Fikr, t.th.), h. 29.
16) Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 36.
17) T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 175-178.
18) Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh para perawi yang sangat banyak dari setiap tingkatan jalur sanad (tabaqah) yang mustahil menurut kebiasaan mereka berdusta. Lihat T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Dirayah Hadits, Jilid I (Cet. VII; Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 57.
19) Hadis masyhūr adalah hadis hadis yang telah masyhur atau dikenal oleh masyarakat luas, tetapi asalnya sebenarnya hanya diriwayatkan oleh lebih dari dua orang periwayat yang tidak mencapai mutawatir. Para ulama hadis sebenarnya mengkateorikan hadis masyhūr tersebut adalah hadis ahad, sehingga masih belum bisa dipastikan sumbernya berasal dari Rasulullah saw. Lihat ibid., h. 67-68.
20) Hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu atau lebih periwayat yang tidak mencapai mutawatir. Lihat ibid., h. 66.
21) Hadis sahīh adalah hadis diyakini sumbernya berasal dari Rasulullah saw. yang memenuhi lima syarat, yaitu: (i) bersambung sanadnya (tidak terputus periwayatannya) sampai kepada Rasulullah saw. ; (2) matan atau isi hadis tidak berlawanan dengan periwayatan yang lebih kuat (rajih); (3) matannya tidak cacat; (4) Semua perawinya adil (dapat dipercaya kejujurannya); (5) semua perawinya kuat hafalannya (dabit). Lihat ibid., h. 110.
22) Hadis hasan adalah hadis yang memenuhi semua syarat hadis sahīh, namun salah satu atau lebih perawinya ada yang kurang kuat hafalannya, tetapi dalam meriwayatkan hadis lebih banyak benar dari pada salahnya. Ibid., h. 161-165.
23) Hadis da•īf adalah hadis-hadis yang tidak memenuhi syarat hadis sahīh dan hadis hasan. Ditinjau dari segi sanadnya, suatu hadis dapat menjadi da•īf disebabkan gugur atau terputus salah satu atau dua perawi baik tidak disebutkan atau sengaja disembunyikan keadaannya. Ditinjau dari segi perawi, hadis menjadi da•īf disebabkan: (i) pernah berdusta atau tertuduh berdusta; (ii) banyak keliru; (iii) lengah dalam urusan menjaga hafalan; (iv) kurang baik perilaku sehari-hari; (v) banyak waham; (vi) periwayatannya menyalahi perawi lain yang terpercaya; (vii) tidak dikenal riwayat hidupnya; serta (viii) menganut akidah atau i’tiqad yang berlawanan dengan yang diterima dari Rasulullah saw. Ditinjau dari segi matan, suatu hadis menjadi da•īf karena matannya janggal dari segi tata bahasa Arab atau matan terbolak-balik. Lihat ibid., h. 220-225.
24) Hadis mawdū• adalah hadis yang terbukti dibuat-buat atau hadis palsu. Lihat ibid., h. 360.
25) Imam al-Bukhārī, Imam Muslim, Imam Dawud bin •Alī al-Zahirī serta Imam Abū Bakr bin •Arabī al-Malikī tetap tidak membolehkan digunakan untuk hadis da•īf untuk menerangkan keutamaan suatu fadā’il •amal, targīb, dan tarhīb disebabkan hadis da•īf masih belum tentu berasal dari Rasulullah saw. Lihat ibid., h. 181 dan 231.
26) Kajian tentang masalah ini (termasuk al-Qur'an) dibahas oleh ilmu usūl al-fiqh dalam masalah al-qawā•id al-lugawiyyah atau dilālah. Lihat Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 140-196; T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, “Pengantar Hukum Islam, Jilid II, h. 34-65; Asjmuni A. Rahman, Metoda Penetapan Hukum Islam (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 5-107.
27) Salah satu contoh produk hukum yang lahir dari Rasulullah saw. adalah ketentuan beliau tentang larangan menyimpan daging kurban kecuali dalam batas tertentu, sekedar bekal untuk tiga hari. Beberapa tahun kemudian, ketentuan Rasulullah saw. dilanggar oleh para sahabat. Hal ini disampaikan kepada Rasulullah saw. dan beliau membenarkan tindakan para sahabat tersebut serta menerangkan bahwa larangan menyimpan daging kurban tersebut didasarkan atas kepentingan al-daffah (tamu yang terdiri dari kaum miskin yang datang dari perkampungan di sekitar Madinah). Setelah itu. Rasulullah saw. membolehkan untuk menyimpan daging kurban tersebut karena tidak ada lagi tamu yang membutuhkannya. Malik bin Anas, al-Muwata’ (Cet. I; Beirut : Libanon, 1409 H/1989 M.), h. 299. Mengenai masalah al-nasikh wa al-mansukh al-hadīś dan asbāb al-wurūd al-hadīś lihat T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Dirayah Hadits, Jilid II (Cet. IV; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 286-300.
28) Mengenai ta·arrud dan metode penyelesaiannya lihat ·Abdul Wahab Khallāf, op. cit., h. 274-276.
29) Banyak orang beranggapan bahwa ijmak dan qiyas merupakan dua sumber hukum Islam yang disepakati oleh umat Islam, seperti sepakatnya umat Islam menerima al-Qur’an dan hadis sebagai landasan hukum. Anggapan ini tidak tepat karena beberapa kelompok umat Islam di luar ulama sunni, ada yang menolak keduanya sebagai sumber hukum Islam sebagaimana akan dijelaskan oleh penulis.
30) Ibid., h. 45.
31) Ibid., h. 45-46.
32) Ahmad Hasan, The Doctrine of Ijma’ in Islam, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti. Ijma’ (Cet. I; Bandung: Pustaka, 1985), h. 186. Ibn Hazm telah meringkas pula perbedaan pandangan para fuqaha tentang ijmak, lihat Abī Muhammad •Alī bin Ahmad bin Sa•īd Ibn Hazm, Marātib al-Ijmā• fī al-•Ibadāt wal al-Mu•āmalāt wa al-I•tiqād (Beirut: Dār al-Kutub al-•Ilmiyyah, t.th.), h. 9-12.
33) T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab (Ed. II; Cet. I; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 162.
34) Ibid., h. 212-214.
35) Ahmad Hasan, op. cit., h. 189-191.
36) Ahmad Hasan, op. cit., h. 191-194.
37) Ibid., h. 204-207; T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, “Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab”, h. 256 dan 294.
38) Ahmad Hasan, op. cit., h. 198-204; T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, “Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab”, h. 54-57.
39) Ahmad Hasan, op. cit., h. 207-214; T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, “Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab”, h. 344-348; Abī Muhammad •Alī bin Ahmad bin Sa•īd Ibn Hazm, op. cit., h. 8-10.
40) Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 52. Lihat pula Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep Imam Syafi’i (Cet. I; Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 109-111.
41) Contoh qiyas di Indonesia seperti menjadikan beras sebagai ukuran pengeluaran zakat fitrah. Asalnya zakat fitrah pada masa Rasulullah saw. adalah mengeluarkan gandum sebanyak 2 ½ Kg bagi setiap jiwa. Di Indonesia, gandum bukanlah makanan pokok yang dikonsumsi masyarakat, termasuk umat Islam. Tetapi hal ini tidak menghalangi umat Islam di Indonesia mengeluarkan zakat fitrah. Lalu diqiyaskanlah zakat fitrah menggunakan ukuran gandum menjadi zakat fitrah menggunakan ukuran beras karena adanya persamaan •illah, yaitu keduanya merupakan “makanan pokok”.
42) Abū al-Hasan al-Karakhī, Kasyf al-Asrār, Juz I, h. 329 (DVD Rom: al-Maktabah al-Syāmilah, Solo, 2007).
43) Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 60; Syarmin Syukur, Sumber-Sumber Hukum Islam (Cet. I; Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), h. 156-166.
44) Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and the Orientalist: A Comparative Study of Islamic Legal System, diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin, et. al., Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam (Cet. II; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 108; Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 54.
45) Syarmin Syukur, op. cit., h. 169.
46) Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 79. Qiyās al-jallī adalah melakukan qiyas dengan •illah yang ada disebutkan dalam al-nas maupun tidak ada disebutkan dalam al-nas, namun perbedaan di antara al-asl dan al-far•ū diyakini tidak muktabar, misalnya mengharamkan memukul orang tua kepada pengharaman mengucapkan perkataan yang menyakiti orang tua dengan •illah menahan gangguan terhadap orang tua. Sedangkan qiyās al-khafī adalah qiyas yang dilakukan dengan mengambil •illah dari hukum al-asl, kemudian diterapkan pada al-far•ū, misalnya mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat pada pembunuhan benda tajam. Lihat T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, “Pengantar Hukum Islam, Jilid I”, h. 225-226. Contoh berpaling dari hukum yang asas menuju pada hukum pengecualian adalah dibolehkannya seorang dokter laki-laki melihat aurat seorang perempuan dalam pengobatan disebabkan keadaan darurat. Hukum asas perbuatan tersebut haram, namun dibolehkan karena adanya darurat sebagai pengecualiannya. Lihat Umar Shihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran (Cet. I; Semarang: Dina Utama Semarang, t.th.), h. 27.
47) Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 72; T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, “Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab”, h. 172-173.
48) Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 73. Lihat pula Sulaiman Abdullah, op.cit., h. 185-187.
49) Muhammad bin Idrīs al-Syāfi•ī, al-Risālah, h. 503-558 (DVD Rom: al-Maktabah al-Syāmilah, Solo, 2007).
50) Abī Muhammad •Alī bin Ahmad bin Sa•īd Ibn Hazm, al-Ihkām fī al-Usūl al-Ahkām, Juz I, h. 129 (DVD Rom: al-Maktabah al-Syāmilah, Solo, 2007).
51) Umar Shihab, op. cit., h. 29.
52) Lihat Sulaiman Abdullah, op. cit., h. 176. Contoh maslahah al-mansūsah, firman Allah Swt. dalam Q.S. al-Ankabūt (29) : 45 yang menyebutkan secara tekstual maslahat shalat:
. . .          . . .
Terjemahnya: “. . . dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar . . . “
Contoh maslahah al-mustanbata, firman Allah Swt. dalam Q.S. al-Nisā’ (4): 43:
            . . .
Terjemahnya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. . .” Dengan melakukan penalaran terhadap ayat ini, ditemukan maslahat larangan minuman keras adalah disebabkan menutup atau mengacaukan akal serta kesadaran manusia yang salah satunya ditunjukkan oleh indikasi orang yang sedang mabuk tidak memahami ucapannya sendiri. Contoh maslahah al-mulgah seperti membolehkan riba dan perjudian untuk mencari keuntungan yang jelas-jelas diharamkan oleh ajaran Islam. Contoh maslahah al-mursalah adalah pencatatan nikah, talak dan rujuk yang banyak maslahatnya, sebagaimana akan dijelaskan oleh penulis, namun tidak ditemukan ketentuan hukumnya dalam al-nas maupun ijmak.
53) T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Cet. VI; Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 186-187; Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 86-87.
54) T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, “Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab”, h. 222.
55) Ibid., h. 128-131.
56) Lihat Ahmad •Abd al-Rahīm al-Sayih, Risālah fī Ri•āyah al-Maslahah lī al-Imām al-Tūfī (Mesir: Dār al-Misriyyah al-Banāniyyah, 1993), h. 13-18.
57) T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, “Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab”, h. 222-223.
58) Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 91.
59) Penetapan hukum berdasarkan istishāb dicontohkan oleh Umar Shihab: A mengawini B secara sah. Namun disebabkan suatu hal, maka A meninggalkan istrinya selama lima tahun tanpa proses talak. Kemudian datang C yang berkeinginan menikahi B yang dianggap tidak bersuami. Berdasarkan istishāb maka pernikahan B dan C tidak boleh dilangsungkan karena adanya status hukum yang masih samar, yaitu status B sebagai istri A. Ketentuan hukum ini bisa diubah jika ada keputusan Pengadilan Agama bahwa B benar-benar bercerai dengan A. Umar Shihab, op. cit., h. 32-33.
60) Muhammad al-Habsy, Syarh al-Mu•tamad Fī Usūl al-Fiqh, Juz I, h. 59 (DVD Rom: al-Maktabah al-Syāmilah, Solo, 2007).
61) T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, “Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab”, h. 63, 221.
62) T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, “Pengantar Ilmu Fiqh”, h. 188.
63) Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 79.
64) •Abd al-Rahmān bin Abī Bakr Jalāluddīn al-Suyūtī, al-Asybāhu wa al-Nażā’ir, Juz I, h. 164 (DVD Rom: al-Maktabah al-Syāmilah, Solo, 2007).
65) Syarmin Syukur, op. cit., h. 209-221.
66) Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, loc. cit.
67) •Abd al-Rahmān bin Abī Bakr Jalāluddīn al-Suyūtī, op. cit., h. 168.
68) Asjmuni A. Rahman, Kedudukan Adat Kebiasaan (‘Urf) dalam Hukum Islam (Ed. I; Cet. I; Yogyakarta: Bina Usaha, 1983), h. 15-17.
69) Contoh sadd al-żarā’i• adalah penetapan hukum wudhu sehubungan dengan pelaksanaan shalat. Shalat hukumnya wajib, sedangkan salah satu syarat sah shalat adalah suci dari najis dan hadaś. Wudhu adalah sarana untuk mensucikan hadaś kecil, sehingga hukum wudhu menjadi wajib karena dikerjakan untuk memenuhi syarat sah shalat wajib. Contoh lain: diharamkannya menjual ayam jago kepada seseorang yang sering melakukan sabung ayam. Syarmin Syukur, op. ci., h. 245-246.
70) Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, I•lām al-Muwaqqi•īn •An Rabb al-•Ālamīn, Juz III, h. 342-343 (DVD Rom: al-Maktabah al-Syāmilah, Solo, 2007).
71) Syarmin Syukur, op. ci., h. 247.
72) •Abd al-Rahmān bin Abī Bakr Jalāluddīn al-Suyūtī, op. cit., h. 268.
73) Ibid., h. 10.
74) Ibid., h. 269.
75) Syarmin Syukur, op. cit., h. 246-248.
76) Terdapat perbedaan tegas antara kriteria sahabat yang dimaksudkan oleh ilmu usūl al-fiqh dalam konteks mażhab al-sahābī dengan kriteria sahabat dalam ilmu hadis yang dijadikan mata rantai periwayatan hadis (sanad). Sahabat dalam konteks mażhab al-sahābī adalah sahabat Rasulullah saw. yang telah lama beriman kepada Rasulullah saw. sebelum perjanjian Hudaybiyyah (tahun 6 sebelum Hijriah), turut berperang bersama Rasulullah saw., atau sahabat yang terkenal dan masyhur kealimannya dalam ilmu fikih. Hanya sedikit di antara sahabat yang masuk kriteria ini, di antaranya: empat orang sahabat khulafā al-rāsyidīn (Abū Bakr al-Siddiq, •Umar bin Khattāb, •Uśmān bin •Affān, dan •Alī bin Abī Tālib), ۠Ā’isyah Umm al-Mu’minīn, Mu•aż bin Jabal, Zayd bin Śabit, •Abdullah bin •Umar, •Abdullah bin •Abbās, dan lain-lain. Lihat T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., h. 181; Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 94. Sedangkan sahabat dalam ilmu hadis adalah setiap orang yang dapat duduk bersama Rasulullah saw. dalam suatu majelis, walaupun hanya sesaat dan dapat mendengar pembicaraan Rasulullah saw. walaupun sekalimat atau dapat melihat sesuatu dari Rasulullah saw. yang dapat dipahaminya, sedangkan ia bukanlah dari golongan orang munafik, kafir, atau mati dalam keadaan munafik dan kafir. Lihat Abī Muhammad •Alī bin Ahmad bin Sa•īd Ibn Hazm, al-Ihkām fī al-Usūl al-Ahkām, Juz 5, h. 663 (DVD Rom: al-Maktabah al-Syāmilah, Solo, 2007).

77) Contoh pendapat dari Umar bin Khattāb dan anaknya •Abdullah bin •Umar bahwa kulit dari bangkai tidak bisa disucikan dengan apapun, termasuk tidak bisa disucikan dengan samak. Pendapat kedua orang sahabat ini tidak disepakati oleh sahabat lain. Lihat Muhammad bin ·Alī bin Muhammad al-Syawkani, Nayl al-Awtār Syarh Muntaqa al-Akhbār min Ahādiś Sayyid al-Akhyār, Juz I, h. 155 (DVD Rom: al-Maktabah al-Syāmilah, Solo, 2007).
78) Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 95-96; T.M Hasbi Ash Shiddieqy, “Pengantar Ilmu Fiqh,” h. 182.
79) Abū Hāmid Muhammad al-Gazālī al-Tūsī, al-Mustasfā, Juz II, h. 260 (DVD Rom: al-Maktabah al-Syāmilah, Solo, 2007); Muhammad bin ·Alī bin Muhammad al-Syawkani, Nayl al-Awtār, h. 17.
80) Lihat Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 93. Islam dan syariatnya yang menyempurnakan syariat-syariat umat sebelumnya mewarisi pula syariat-syariat sebelum Islam. Ada yang dilanjutkan sepenuhnya oleh syariat Islam, seperti berkhitan yang merupakan syariat Nabi Ibrahim a.s. (HR. Al-Bukhārī : Hadits No. 3178 dan HR. Muslim: Hadits No. 151), ada yang dilanjutkan namun mengalami perubahan dalam prakteknya seperti disyariatkannya berpuasa selama bulan Ramadan (29 atau 30 hari) yang lebih pendek masanya dari syariat Nabi Musa a.s. yang berpuasa 40 hari (Q.S. al-A•rāf (7): 142) , ada pula yang dihapuskan sama sekali oleh syariat Islam seperti dihalalkannya umat Islam memakan daging hewan berkuku belah, sapi, dan domba yang diharamkan pada umat Nabi Musa a.s. (Q.S. al-An•ām (6): 146).
81) Ibid., h. 94,
82) Ibid.; Syarmin Syukur, op. cit., h. 223.
83) Zainuddin Ali, Hukum Islam dalam Kajian Syari’ah dan Fiqh di Indonesia (Ed. I; Cet. I; Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 2000), h. 4-5.
84) Sa•di Abū Habīb, Mawsū•ah al-Ijmā•, diterjemahkan oleh Sahal Machfudz dan Mustofa Bisri, Ensiklopedi Ijmak: Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus dan P3M, 1987), h. 581 dan 849.